Mohon tunggu...
Agus Sutisna
Agus Sutisna Mohon Tunggu... Dosen - Lecturer I Researcher IInstagram : @kiagussutisna

Dosen | Pegiat Sosial | Menulis berharap ridho Allah dan manfaat bagi sesama I Nominee Kompasiana Award 2024 - Best in Opinion

Selanjutnya

Tutup

Analisis Artikel Utama

Anies-PDIP, Politik Simbiosis Mutualisme yang Saling Menguatkan

25 Agustus 2024   19:36 Diperbarui: 26 Agustus 2024   10:22 942
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Di tengah dinamika politik elektoral Jakarta, nama Anies sempat agak meredup terutama setelah Ridwan Kamil dan Suswono dideklarasikan oleh KIM Plus beberapa waktu lalu.

Para pemerhati bahkan sudah sampai pada kesimpulan: Anies game over, wassalam.

Tapi kemudian melesat kembali dengan cepat setelah Mahkamah Konstitusi (MK) menerbitkan Putusan Nomor 60 yang mengubah secara progresif threshold pencalonan Pilkada.

Seperti sudah saya tulis pada artikel sebelumnya, Putusan MK 60 telah membuka kembali peluang Anies yang nyaris tertutup. Karena semua partai politik, termasuk tiga parpol yang sebelumnya menyatakan dukungannya (PKS, PKB, Nasdem) memilih jalan bergabung dengan KIM Plus.

Satu-satunya partai yang tersisa yakni PDIP, sebelum Putusan MK 60 terbit tidak bisa mengusung pasangan calon karena tidak memenuhi threshold pencalonan.

Sekarang, pasca terbitnya Putusan MK 60, bukan hanya Anies yang peluangnya kembali terbuka. Tetapi juga PDIP yang sempat terisolir dari proses kandidasi Pilkada Jakarta. Bahkan, jika memiliki keberanian, 8 parpol di Jakarta sekarang bisa mengajukan sendiri-sendiri pasangan Cagub-Cawagub tanpa harus koalisi.

Kedelapan partai itu adalah PKS (16,68%), PDIP (14,01%), Gerindra (12%), Nasdem (8,99%), Golkar (8,53%), PKB (7,76%), PSI (7,68%), PAN (7,51%), dan Demokrat (7,32%).

Berdasarkan Putusan MK Nomor 60 perolehan hasil suara Pemilu 2024 semua partai ini melampaui ambang batas pencalonan untuk Pilgub Jakarta sebesar 7.5%.

Andai saja kedelapan partai tersebut berani, sungguh luar biasa. Warga Jakarta akan diuntungkan karena bakal memiliki cukup banyak opsi calon pemimpinnya lima tahun kedepan.

Tapi sudahlah, yang realistis saja sekarang warga Jakarta maksimal akan memiliki sedikitnya tiga pasangan Cagub-Cawagub. Yakni Ridwan Kamil dan Suswono yang diusung poros KIM Plus, Dharma dan Kun yang maju melalui jalur independen, dan entah siapa dengan siapa yang bakal diusung oleh PDIP dan mungkin bersama partai-partai non parlemen seperti Partai Buruh, yang berdasarkan Putusan MK 60 juga bisa mengajukan paslon sepanjang memenuhi threshold pencalonan 7.5%.

www.tribunnews.com
www.tribunnews.com

Syarat buat Anies

Kembali ke figur Anies Baswedan dalam konteks perhelatan Pilkada Jakarta 2024. Dalam beberapa tulisan saya sebelumnya telah dibahas peluang kerjasama Anies dengan PDIP, kalkulasi kebutuhan elektoral, serta kepentingan politik kebangsaan jangka panjang jika sebutlah, "mutualan" Anies-PDIP ini bisa diwujudkan.

Namun demikian tentu saja siapapun menyadari betul, bahwa PDIP sebagai partai ideologis dan partai kader pastinya tidak akan gampangan memberikan karpet merah kepada Anies atau siapapun di luar kader organiknya.

Meski dalam nuansa seloroh, pada momen pengumuman bakal calon kepala dan wakil kepala daerah yang diusung PDIP beberapa hari lalu Megawati sendiri sudah memberikan isyarat soal tak mudahnya Anies diusung oleh PDIP. Ada sejumlah syarat yang harus dilakukan Anies jika mau diusung PDIP.

Syarat-syarat itu beberapa hari lalu pernah dikemukakan kepada media oleh Sekjen PDIP Hasto Kristyanto. Secara kumulatif syarat-syarat itu meliputi: Visi-Misi Paslon disiapkan oleh PDIP; siap memprioritaskan politik tata ruang; siap mewujudkan Indonesia yang berdaulat di bidang politik, berdikari di bidang ekonomi, dan berkepribadian dalam kebudayaan; siap mewujudkan keberpihakan kepada Wong Cilik; siap menjadi kader partai; dan taat terhadap ideologi serta berpegang pada platform partai.

Dari semua syarat versi Hasto itu, kecuali yang terkait kesediaan menjadi kader dan dengan sendirinya harus siap tegak lurus dengan ideologi dan platform partai, saya kira bukan hal baru bagi Anies.

Isu tata ruang yang harus didesain dan dikelola dengan benar dan konsisten, keberpihakan pada wong cilik, dan berkomitmen mewujudkan ajaran Tri Saktinya Bung Karno, sedikit banyak Anies sudah mengimplementasikanya ketika memimpin Jakarta, meski tentu saja belum tuntas dan masih ada kekurangan disana-sini.

Komitmen terhadap isu-isu strategi itu juga muncul dalam visi-misi dan program Anies sebagai Capres pada Pilpres 2024 lalu. Kita masih ingat misalnya bagaimana Anies sangat kritis terhadap pembangunan IKN dan ini jelas terkait antara lain dengan isu tata ruang dan lingkungan hidup.

Anies juga bicara soal keseteraan pengelolaan, distribusi dan pemanfaatan sumberdaya ekonomi, dan ini jelas ada kaitannya dengan pesan sakti kedua Bung Karno dalam Tri Saktinya.

Selain itu dan ini penting dalam kerangka penyamaan pemahaman, posisi dimana berdiri serta komitmen mewujudkannya bersama PDIP adalah terkait isu politik kebangsaan dan inklusifitas.

Sejauh yang saya cermati, baik selama memimpin Jakarta maupun sebelum dan sesudahnya, Anies adalah sosok yang sejatinya sangat inklusif, muslim yang moderat, dan intelektual yang memegang teguh prinsip-prinsip kebangsaan dan pastinya paham betul soal wajah kebhinekaan Indonesia yang harus dirawat dan dijaga.

Jika demikian halnya, maka soal keharusan Anies menjadi kader PDIP serta tegak lurus dengan ideologi dan platform PDIP sebagai partai nasionalis mestinya bukan sesuatu yang berat bagi Anies. Terlebih lagi jika disertakan pula kedalam kerangka pikir ini proyeksi politik elektoral kedepan.

Dalam hal ini jika Anies sungguh-sungguh siap mewakafkan dirinya untuk Indonesia, keharusan menjadi kader organik PDIP mestinya bukan perkara yang sulit.

Politik Simbiosis Mutualisme

Terkait hal itu, dalam tulisan saya sebelumnya "Anies Gabung PDIP, Why Not?" telah dibahas pentingnya Anies berpikir cepat dan memutuskan untuk bergabung dengan partai politik.

Dan hemat saya, berdasarkan sedikitnya empat argumentasi berikut, saat ini PDIP adalah rumah politik yang paling tepat bagi Anies Baswedan.

Pertama, saat ini PDIP dan Anies memiliki kesamaan-kesamaan yang mestinya bisa mempertemukan keduanya dalam satu garis kepentingan. Mereka sama-sama merupakan antitesa atas (haluan dan kebijakan-kebijakan politik) pemerintahan Jokowi-Ma'ruf dan pemerintahan penerusnya, Prabowo-Gibran.

Masuknya Anies ke PDIP, atau dalam premis yang setara, bergabungnya Anies dan PDIP akan menjadi kekuatan politik yang "bertenaga" untuk menciptakan keseimbangan dalam lanskap kepolitikan nasional kedepan. Setidaknya, meski secara kuantitas PDIP kalah jumlah kursi di parlemen, dukungan massa pendukung Anies di ruang publik bisa sangat berguna ketika PDIP menjalankan fungsi-fungsi oposisionalnya terhadap pemerintahan mendatang.

Kedua, PDIP dan Anies juga sama-sama sedang menghadapi kekuatan hegemonik yang sebelum keluar Putusan MK 60 nampak jelas sekali sangat berkepentingan untuk "mengisolasi" keduanya dari perhelatan Pilgub Jakarta.

PDIP ditarget untuk dibiarkan sendirian, Anies ditarget agar tidak mendapatkan partai pengusung. Jika target ini berhasil, maka PDIP dan Anies beserta basis massa dan para loyalisnya di akar rumput bakal menjadi penonton di pesta demokrasi Jakarta. Dan kemarin-kemarin hal ini nyaris benar-benar terwujud.

Ketiga, dengan memilih menjadi kader PDIP, dengan sendirinya jalan Anies menuju kandidat Jakarta Satu bakal mulus karena ia sudah menjadi kader internal. Ini tentu dengan asumsi ada kesepakatan terlebih dahulu antara Anies dengan PDIP sebagai bakal partai induknya, khususnya tentu saja dengan Megawati sebagai pemegang mandat tunggal pencalonan Pilkada.

Kesepakatan yang dimaksud, selain secara khusus berkenaan hal-ihwal seputar kepentingan Pilkada Jakarta, pastinya juga menyangkut soal syarat-syarat yang harus dilakukan Anies, baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang sebagai kader partai.

Bagi PDIP sendiri, "memerahkan" Anies (meminjam istilah Hasto Kristyanto) dan mengusungnya sebagai Cagub Jakarta pastinya bakal memberikan insentif elektoral jangka pendek sekaligus insentif kelembagaan partai dalam jangka panjang.

Keempat, untuk kepentingan menghidupkan politik kebangsaan. Dengan memilih PDIP (atau sebaliknya, PDIP yang "memerahkan" Anies), maka "perkawinan" kedua aktor ini dapat menghadirkan suasana Pilgub yang lebih sejuk dari kegaduhan berbasis politisasi identitas seperti pernah terjadi pada Pilgub Jakarta 2017 silam. Karena kedua aktor yang dulu berseberangan dan sama-sama terjebak dalam perseteruan akibat politisasi identitas kini berada dalam satu poros perjuangan politik.

Ringkasnya, bergabungnya Anies kedalam PDIP lalu diusung sebagai Cagub Jakarta oleh PDIP akan menjadi model politik simbiosis mutualisme yang saling menguatkan dan menguntungkan.

Bukan hanya untuk Anies dan PDIP, tetapi juga untuk kepentingan warga Jakarta, bahkan untuk kerangka yang lebih luas lagi. Yakni menghadirkan kekuatan penyeimbang dalam lanskap kepolitikan nasional masa depan. Sehingga kecenderungan bangkitnya kembali otoritarianisme dapat dicegah dari Jakarta, dari momen Pilkada ini.

Artikel-artikel terkait :

Putusan MK Terbaru Membuka Kembali Peluang PDIP dan Anies

Anies Gabung PDIP, Why Not?

Mengapa Pendamping Anies Sebaiknya Kader PDIP?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun