Mohon tunggu...
Agus Sutisna
Agus Sutisna Mohon Tunggu... Dosen - Lecturer I Researcher IInstagram : @kiagussutisna

Dosen | Pegiat Sosial | Menulis berharap ridho Allah dan manfaat bagi sesama I Nominee Kompasiana Award 2024 - Best in Opinion

Selanjutnya

Tutup

Analisis Artikel Utama

Deklarasi Airin-Ade di Banten dan Golkar yang Masih "Tersandera"

24 Agustus 2024   23:20 Diperbarui: 25 Agustus 2024   15:02 81263
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Seandainya tidak ada aral melintang, besok Airin Rachmi Diany dan Ade Sumardi bakal dideklarasikan sebagai paslon Cagub-Cawagub Banten. 

Airin adalah mantan Walikota Tangerang Selatan sekaligus kader Golkar yang sudah lama dipersiapkan maju di Banten ketika masih dipimpin Airlangga. Sementara Ade, mantan Wakil Bupati Lebak sekaligus Ketua DPD PDIP Banten yang juga sudah lama disiapkan oleh partainya.

Pada beberapa artikel sebelumnya saya sudah menulis, Airin-Ade adalah paket paling ideal dibandingkan dengan varian opsi yang tersedia di luar paslon Andra-Dimyati yang diusung dan sudah lebih dulu dideklarasikan oleh Koalisi Banten Maju (KBI) yang didukung penuh oleh KIM dan Prabowo. Ideal berdasarkan pertimbangan potensi kemenangan elektoral, dan sangat penting dilihat dari perspektif menjaga substansi Pilkada di Banten.

Keduanya, berdasarkan kalkulasi elektoral (hasil survei terutama figur Airin, perpaduan wilayah utara-selatan Banten, kombinasi perempuan-laki, dan pengalaman memimpin) merupakan paslon yang memiliki potensi kuat untuk mengimbangi bahkan mengalahkan Andra-Dimyati. Mereka bisa merebut Banten dan menyisakannya dari hegemoni politik KIM.

Selain itu, saat ini Airin-Ade merupakan dua figur tersisa dari belasan bakal kandidat yang baliho dan spanduknya bertebaran di antero Banten, yang paling realistis sekaligus paling "bertenaga" secara politik untuk mencegah potensi calon tunggal di Pilkada Banten. Oleh karena itu apresiasi pantas diberikan kepada mereka berdua, dan tentu saja kepada DPD Golkar dan DPD PDIP Banten.

Tapi tunggu dulu. Di awal paragraf tulisan ini saya menggunakan diksi "pengandaian" untuk agenda deklarasi besok. Mengapa? Ada kesan, agenda deklarasi ini masih abu-abu, belum pasti benar. Benarkah demikian? Mari kita bedah jalan (ringkas) ceritanya.

Peta Elektoral Banten

Sebagaimana sudah saya tulis dalam beberapa artikel terdahulu, peta politik elektoral di Banten mirip dengan Jakarta. Di Banten tidak ada satupun partai politik parlemen yang bisa mengajukan paslon sendiri. 

Tiga partai teratas, yakni Gerindra, PDIP dan Golkar sama-sama meraih 14 kursi di DPRD Banten, dan dengan demikian ketiganya belum memenuhi thereshold pencalonan sebelum putusan MK Nomor 60 terbit 20 Agustus kemarin.

Dalam situasi demikian, Gerindra dan kubu KIM mengonsolidasikan diri dan sepakat melakukan manuver bersama untuk menguasai Banten dengan menghimpun semua partai pengusung Prabowo-Gibran pada Pilpres 2024 ditambah dengan semua partai pengusung Anies-Cak Imin dan PPP. 

Hasil konsolidasi inilah yang kemudian melahirkan Koalisi Banten Maju (KIB), yang sejatinya adalah KIM Plus. Jadi KIM Plus sesungguhnya lahir dan terbentuk di Banten dulu sebelum di Jakarta, hanya saja di Banten menggunakan istilah KBI, bukan KIM Plus.

Satu hal yang membedakan Banten dari Jakarta, sekaligus penting dicermati adalah, bahwa Golkar Banten tidak bergabung dengan KBI. Sementara di Jakarta, Golkar malah berada di garda depan KIM Plus yang ditandai dengan disepakatinya Ridwan Kamil sebagai kadernya yang dimajukan sebagai Cagub. 

Golkar di Banten menjadi satu-satunya parpol anggota KIM yang tidak ikut mengusung Andra-Dimyati. Mengapa sikap Golkar berbeda di Banten?

Dari berbagai informasi dapat dibaca dari pemberitaan di media, alasan Golkar (di era Airlangga tentu saja) tidak bergabung dengan KBI karena mereka memiliki Airin, bakal kandidat yang paling moncer posisi elektabilitasnya di setiap lembaga survei. 

Perlu diketahui, dari semua figur bakal kandidat, Airin memang jauh lebih dulu menyosialisasikan dirinya secara masif kepada warga Banten. Wajar jika ia lebih populer dan terangkat potensi elektabilitasnya.

Alasan yang demikian tentu bisa difahami dan sangat normal dalam konteks kontestasi kepemimpinan politik. Bukankah partai politik memang hadir sebagai sarana rekruitmen politik sekaligus satu-satunya institusi yang berhak memajukan calon-calon pemimpin politik di setiap tingakatan?

Airin-Ade Sempat Meredup 

Airin yang moncer popularitas dan potensi elektabilitasnya dengan cepat (sempat) meredup. Setidaknya menjadi tidak jelas bakal nasib pencalonannya, setelah Andra-Dimyati dideklarasikan oleh KBI dan didukung oleh semua partai parlemen di Banten, minus Golkar dan PDIP.

Demikian pula dengan Ade Sumardi, bakal Cawagubnya. Ade yang sempat mengurus pengunduran dirinya sebagai Caleg terpilih di DPRD Banten karena akan maju mendampingi Airin, selang beberapa hari kemudian menarik surat pengunduran diri itu dari KPU Banten. 

Ini jelas mengisyaratkan bahwa pencalonannya bersama Airin menjadi tidak jelas, terlebih ketika Airlangga tergusur dari jabatan Ketua Umum Golkar. Di bawah kepemimpinan Airlangga lah Airin diberikan rekomendasi dan penugasan sebagai bakal Cagub Banten.

Mengapa Airin-Ade meredup, bahkan nyaris hilang dari orbit pencalonan Pilkada? Karena di satu sisi Golkar, yang diduga "tersandera" oleh tarik-menarik kepentingan politik di pusat itu tidak kunjung memastikan rekomendasi pencalonannya untuk berkoalisi dengan PDIP.

Sementara di sisi lain, PDIP tidak bisa maju sendiri karena kursinya di DPRD Banten tidak memenuhi threshold pencalonan. Ringkasnya hanya ada satu pilihan bagi Airin-Ade untuk bisa maju kala itu, yakni Golkar dan PDIP berkoalisi.

Berkah Putusan MK 60

Pasca terbitnya putusan MK Nomor 60 Tahun 2024 beberapa hari lalu, ketidakjelasan nasib Airin-Ade terurai sudah, meski dengan resiko berat yang nampaknya harus dihadapi terutama oleh Airin.

Sebagaimana kita tahu, putusan MK Nomor 60 telah mengubah norma threshold pencalonan secara progresif. PDIP maupun Golkar yang semula tidak bisa maju sendiri karena hanya memiliki 14 kursi di DPRD Banten, setara dengan 14%, dengan putusan MK keduanya bisa maju tanpa harus koalisi. Dengan jumlah DPT Banten sekitar 8 jutaan, kedua partai ini bisa maju tanpa harus koalisi karena menurut norma baru dalam putusan MK, Provinsi dengan DPT lebih dari 6-12 juta jiwa cukup dengan 7.5% perolehan suara sah.

Putusan MK 60 menjadi berkah, terutama bagi PDIP atau juga Golkar jika mau dan berani mengambil sikap berbeda dari KBI. PDIP bisa maju tanpa harus koalisi, tak perlu lagi menunggu Golkar yang "tersandera." 

Hanya saja sebuah resiko politik elektoral harus diambil PDIP, yakni mengusung figur eksternal sebagai Cagub, dan ini tidak lain adalah Airin. Ade Sumardi tetap dipasang sebagai Cawagub. Tetapi Pilihan resiko ini wajar dan realistis berdasarkan pertimbangan elektabilitas Airin yang jauh melampaui Ade Sumardi.

Kemudian bagaimana posisi politik Airin dengan pencalonannya sebagai Cagub yang diusung justru oleh PDIP, bukan oleh partainya sendiri yang nampaknya belum (atau bahkan tidak akan memberinya rekomendasi)? Simpel saja. Cukup memilih keluar dari Golkar atau membiarkan Golkar memecat dirinya lalu segera mengubah warna jaket almamater politiknya dari kuning menjadi merah. Dengan cara demikian, satu perkara selesai. Dan besok deklarasi Airin-Ade jadi digelar.

Bagi warga Banten, deklarasi Airin-Ade (sekali lagi seandainya terlaksana besok) tentu penting dan berharga. Bukan karena nasib Airin dan Ade terselamatkan. Bukan pula karena PDIP bisa mengajukan paslon sendiri tanpa harus koalisi. Melainkan karena dengan demikian warga Banten akan memiliki paslon alternatif. Dan ini adalah bentuk kongkret penghargaan terhadap aspirasi dan penghormatan terhadap hak politik rakyat, sekaligus bisa memastikan Pilkada Banten kelak masih layak disebut sebagai Pilkada.

Tetapi jika Airin ragu mengambil sikap progresif itu, artinya ia masih berharap DPP Golkar mau berkoalisi dengan PDIP dan mengusungnya sebagai Cagub bersama Ade sebagai Cawagub, maka deklarasi besok potensial ambyar alias gagal.

Kecuali, tetiba saja ada perubahan sikap politik DPP Golkar menyusul beberapa partai lain yang juga mengubah posisi sikapnya terkait putusan MK 60 setelah Gedung Parlemen digeruduk rakyat dua hari lalu. Lalu memahami bahwa warga Banten ingin memiliki pilihan alternatif serta menyadari keinginan warga itu adalah hak yang harus ditunaikan agar Pilkada tetap layak disebut Pilkada.

Itulah sebabnya mengapa paragraf awal tulisan ini saya mulai dengan "pengandaian." Jadinya, bagaimana besok? Kita tunggu saja, apakah rakyat Banten akan dihargai dan dihormati hak-hak politiknya, atau dicampakan ke tong sampah!

Artikel terkait:

PDIP, Golkar, Airin, dan Menjaga Kewarasan Berdemokrasi di Banten

Pilkada Banten, Koalisi Gigantis, dan Calon Tunggal

Kandidasi Pilgub Banten (2): Airin, Andra-Dimyati, dan Potensi Calon Tunggal

Kandidasi Pilgub Banten (1): Anomali Politik dan Politik Kartel

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun