DPR akhirnya membatalkan pengesahan RUU menjadi UU Pilkada setelah aksi penolakan dari lintas elemen masyarakat meluas di berbagai daerah.
Namun demikian publik tetap perlu waspada. Karena pernyataan yang dikemukakan Sufmi Dasco ini sesungguhnya belumlah merupakan rilis resmi kelembagaan parlemen.
Kemungkinan DPR "bersiasat" masih bisa terjadi. Publik lengah, RUU itu bisa saja diam-diam disahkan.
Sambil terus mengawal dengan cermat dalam beberapa hari kedepan hingga pendaftaran calon kepala dan wakil kepala daerah dibuka tanggal 27 Agustus 2024 mendatang, ada baiknya kita teropong potensi atau ancaman bahaya bernegara yang bisa terjadi jika DPR tetap memaksakan pengesahan UU Pilkada itu.
Aksi Masa yang Meluas
Ancaman pertama yang nampaknya tidak akan bisa dihindarkan adalah aksi-aksi massa yang akan terus terjadi bahkan mengalami eskalasi di berbagai daerah.
Penting bagi para anggota DPR untuk membaca dengan tajam dan memahami dengan bijak bahwa aksi penolakan terhadap rencana pengesahan UU Pilkada kemarin itu sesungguhnya merupakan ekspresi akumulasi dari rangkaian kekecewaan publik terhadap perilaku banal para elit politik yang sudah berlangsung cukup lama.
Publik melihat ada pergeseran orientasi politik yang sangat kentara di kalangan elit, baik di legislatif maupun di eksekutif yang mengarah pada pragmatisme berlebihan. Segala kebajikan (virtue) dan nilai-nilai luhur kepolitikan telah dikalahkan oleh syahwat kuasa dan ambisi melanggengkannya, serta penggunaan kekuasaan untuk semata-mata memuaskan naluri purbanya sebagai homo politics.
Lebih parah lagi, naluri kekuasaan dan ambisi pelanggengannya itu dilakukan dengan cara-cara yang cenderung Machiavellian, menghalalkan segala cara.Â
Piranti hukum sebagai dasar pengaturan kehidupan politik dibaikan, atau disiasati demikian rupa demi memuluskan naluri dan ambisi politiknya itu. Autocratic legalism kian menggejala dalam tata kelola kekuasaan dan kepemimpinan politik.
Akumulasi kekecewaan publik terhadap fenomena perilaku politik minus kebajikan dari para elit itu menemukan sumbu peledak atau momentumnya pada rencana pengesahan UU Pilkada kemarin.
Publik seolah sepakat bahwa batas kesabaran menyaksikan banalitas perilaku elit politik sudah berada di titik ujung, dan harus ditumpahkan sebagai warning.
Maka jika dibandingkan dengan rentetan demonstrasi yang terjadi selama ini, aksi-aksi kemarin jelas sangat berbeda setidaknya dalam dua hal.
Pertama, aksi berlangsung spontan dan hanya membutuhkan sebuah tayangan video "Peringatan Darurat" yang disebar akun youtube EAS Indonesia Concept sebagai media pengkondisian massa.
Kedua, peserta aksi adalah warga masyarakat dari lintas elemen serta relatif bebas afiliasi politik.
Tentu saja, aksi massa sebagai sarana pengartikulasian kepentingan adalah cara yang dibenarkan dalam tradisi demokrasi dan wajib dihormati.
Tetapi jika setiap persoalan bersama harus selalu diselesaikan dengan cara jalanan tentu akan sangat mahal ongkos sosialnya.
Ongkos sosial itu berkaitan dengan berbagai aktifitas keseharian publik serta situasi keamanan dan stabilitas politik.
Pembangkangan Sipil
Upaya DPR memaksakan pengesahan UU Pilkada juga bisa memicu lahirnya pembangkangan sipil (civil disobedience). Yakni penolakan massif masyarakat terhadap kewajiban mematuhi hukum tertentu atau berbagai kebijakan pemerintah secara umum.
Pembangkangan sipil bisa terjadi ketika masyarakat semakin sering merasakan ketidakadilan perlakuan sosial, politik, ekonomi dan budaya. Atau ketika hukum dianggap hanya menjadi instrumen kekuasaan atau alat para elit memenuhi hasrat-hasrat purba kekuasaannya, serta tidak lagi dimaksudkan untuk menata ketertiban bersama dan mewujudkan keadilan.
Penting bagi para wakil rakyat untuk membaca gejala dan mendengarkan suara-suara jernih publik serta meresponnya dengan bijak dan sikap negarawan setiap kali muncul problematika yang berkelindan langsung dengan kepentingan masyarakat.
Rendahnya kepekaan politik dan empati sosial mereka akan berdampak pada tumbuh dan terakumulasinya kekecewaan, amarah, dan akhirnya arus balik perlawanan berupa pembangkanan sipil tadi.
Ketidakpastian HukumÂ
Potensi ancaman berikutnya adalah ketidakpastian hukum dalam kerangka penyelenggaraan Pilkada.
Jika DPR memaksakan (dan berhasil) mengesahkan UU Pilkada, sementara di sisi lain ada putusan MK Nomor 60 dan 70 yang bersifat final (dan mengikat), dapat dipastikan akan terjadi ketidakpastian hukum dalam penyelenggaraan Pilkada.
Ketidakpastian hukum itu akan dihadapi oleh penyelenggara Pemilu (KPU, Bawaslu dan DKPP). Regulasi mana yang akan menjadi rujukan?
UU Pilkada yang sudah direvisikah, atau UU Pilkada terakhir dan putusan MK yang kemudian diadopsi kedalam Peraturan KPU (PKPU) Pencalonan?Â
Ketidakpastian yang sama tentu akan dihadapi pula oleh peserta Pilkada dan partai-partai politik yang akan mengusung pasangan calon kepala dan wakil kepala daerah, dan akhirnya juga masyarakat.Â
Ketidakpastian hukum akan membuat Pilkada diselenggarakan diatas landasan dualitas norma yang saling bertabrakan dan dengan sendirinya gampang memicu kegaduhan, konflik serta saling dipersoalkan oleh masing-masing pihak.
Pilkada Ilegal dan Langkah Antisipasi
Nafsu kuasa sudah beberapa terbukti dapat menegasikan segala perangkat untuk menciptakan tertib sosial, tertib bernegara, dan keadilan untuk semua.Â
Jika pahitnya, DPR tetap bernafsu dan berhasil mengesahkan UU Pilkada, lalu KPU menyelenggarakan Pilkada dengan UU hasil revisi, dan sama sekali tidak merujuk pada putusan MK Nomor 60 dan 70 maka Pilkada jelas akan menjadi illegal sekaligus inkonstitusional.
Melalui persidangan Perselisihan Hasil Pemilu (PHP) Kepala Daerah, MK dapat dipastikan akan memerintahakan melalui amar putusannya untuk melaksanakan Pilkada Ulang di seluruh daerah dengan merujuk pada putusan MK 60 dan 70 serta UU Pilkada terakhir yang belum direvisi.
Rumit dan mahal ongkos yang harus ditanggung oleh bangsa ini.
Maka supaya Pilkada tidak menjadi illegal dan inkonstitusional, serta sebelum kerumitan itu terjadi karena Pilkada dihelat dengan UU Pilkada yang tidak merujuk pada putusan MK Nomor 60 dan 70, dua langkah penting dan mendesak harus dilakukan oleh masyarakat.
Pertama, masyarakat (melalui elemen-elemen masyarakat sipil) segera mengajukan kembali judicial review kepada Mahkamah Konstitusi agar UU Pilkada yang disahkan paksa itu kembali dinyatakan bertentangan dengan konstitusi dan dibatalkan.
Kedua, masyarakat lintas elemen harus terus menyuarakan penolakan dan mengawal proses politik hukum ini hingga tuntas dan kemenangan politik bernegara bisa diraih bersama.
Artikel-artikel seputar Pilkada 2024 :
Putusan MK dan Permufakatan Banal Parlemen
Bersabarlah Kaesang, Kesempatan Masih Panjang
Pilkada, Konsolidasi Demokrasi, dan Tanggung Jawab Partai Politik
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H