Publik seolah sepakat bahwa batas kesabaran menyaksikan banalitas perilaku elit politik sudah berada di titik ujung, dan harus ditumpahkan sebagai warning.
Maka jika dibandingkan dengan rentetan demonstrasi yang terjadi selama ini, aksi-aksi kemarin jelas sangat berbeda setidaknya dalam dua hal.
Pertama, aksi berlangsung spontan dan hanya membutuhkan sebuah tayangan video "Peringatan Darurat" yang disebar akun youtube EAS Indonesia Concept sebagai media pengkondisian massa.
Kedua, peserta aksi adalah warga masyarakat dari lintas elemen serta relatif bebas afiliasi politik.
Tentu saja, aksi massa sebagai sarana pengartikulasian kepentingan adalah cara yang dibenarkan dalam tradisi demokrasi dan wajib dihormati.
Tetapi jika setiap persoalan bersama harus selalu diselesaikan dengan cara jalanan tentu akan sangat mahal ongkos sosialnya.
Ongkos sosial itu berkaitan dengan berbagai aktifitas keseharian publik serta situasi keamanan dan stabilitas politik.
Pembangkangan Sipil
Upaya DPR memaksakan pengesahan UU Pilkada juga bisa memicu lahirnya pembangkangan sipil (civil disobedience). Yakni penolakan massif masyarakat terhadap kewajiban mematuhi hukum tertentu atau berbagai kebijakan pemerintah secara umum.
Pembangkangan sipil bisa terjadi ketika masyarakat semakin sering merasakan ketidakadilan perlakuan sosial, politik, ekonomi dan budaya. Atau ketika hukum dianggap hanya menjadi instrumen kekuasaan atau alat para elit memenuhi hasrat-hasrat purba kekuasaannya, serta tidak lagi dimaksudkan untuk menata ketertiban bersama dan mewujudkan keadilan.
Penting bagi para wakil rakyat untuk membaca gejala dan mendengarkan suara-suara jernih publik serta meresponnya dengan bijak dan sikap negarawan setiap kali muncul problematika yang berkelindan langsung dengan kepentingan masyarakat.
Rendahnya kepekaan politik dan empati sosial mereka akan berdampak pada tumbuh dan terakumulasinya kekecewaan, amarah, dan akhirnya arus balik perlawanan berupa pembangkanan sipil tadi.