Sebagaimana sudah menjadi pengetahuan bersama di kalangan umat Islam, salah satu khilafiyah klasik yang membedakan NU dan Muhammadiyah dalam praktik ibadah adalah soal bacaan doa Qunut pada sholat subuh. NU menggunakan Qunut dan Muhammadiyah sebaliknya.
Meski perkara Qunut ini hanyalah soal khilafiyah furu'iyah, berpuluh tahun atau sudah lebih dari 1 abad jika dihitung dari berdirinya Muhammadiyah (1912), warga NU dan Muhammadiyah terpolar kedalam dua kutub sholat subuh. Di lapis akar rumput umat, perbedaan ini bahkan kerap memicu pertengkaran. Padahal salah satu kaidah ushul fiqhnya jelas dan sederhana: Â Laa Inkara fil Mukhtalaf Fiihi, tidak boleh ada pengingkaran dalam khilafiyah.
Lantas bagaimana membaca satir "Qunut dan Tambang" ini? Sederhana saja. Satir itu jelas bukan bermaksud memperkarakan isu Qunutnya. Karena masing-masing sudah sama-sama memahami dan sepakat bahwa Qunut adalah wilayah interpretasi, area khilafiyah furu'iyah.
Fokus satir itu adalah soal tatakelola tambannya. Sekali lagi, usaha tambang apalagi dalam skala besar bukanlah core business organisasi keagamaan. Berbagai sisi mafsadat bisa saja terjadi dan berdampak buruk, baik bagi institusi organisasi sendiri maupun bagi masyarakat dan lingkungan. Yakni ketika keliru qiblat (niyat dan orientasi) dan salah manajemen dalam praktiknya. Â
Muhammadiyah dan NU sudah terbukti peran-peran strategis dan kontributifnya bagi masyarakat, bangsa dan negara ini. Terutama dalam bidang sosial, pendidikan, kesehatan, bahkan juga dalam merawat harmoni politik kebangsaan dan kemanusiaan di negeri ini. Semua orang pastinya tidak ingin melihat kedua ormas Islam mainstream ini terjerumus lalu terjebak dalam kubangan bisnis yang lebih banyak merusak lingkungan. Jadi, satir itu sebetulnya adalah ekspresi cinta dari masyarakat kepada Muhammadiyah dan NU.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H