Jadi, jika kita berkehendak kenyataan hari ini baik, maka kemarin seharusnya cita-cita yang kita rancang dan pastikan harus baik. Demikian pula, jika kita menginginkan kenyataan hari esok baik, maka hari ini cita-cita yang kita rancang dan pastikan tentulah harus baik.
Dalam pandangan Al Bana, performa wajah dunia atau kehidupan ini jadinya memang, bukan hanya dibangun, tetapi juga ditentukan oleh dan dari mimpi demi mimpi. Mimpi, alias cita-cita yang "biasa-biasa saja" niscaya hanya akan melahirkan wajah kehidupan yang juga "biasa-biasa saja". Sebaliknya, mimpi atau cita-cita yang dahsyat berpotensi besar melahirkan kenyataan hidup yang juga dahsyat.
Itu sebabnya, para orang tua selalu menasihatkan kepada anak-anaknya agar menggantungkan cita-cita hidup mereka setinggi langit. Suatu jarak ketinggian yang dahsyat, karena melebihi apapun obyek di ruang semesta yang dapat dijangkau oleh pandangan mata.
Mimpi dalam Perspektif Al Quran
Dalam memaknai mimpi, bahasa Arab mengenal dua istilah, yaitu arru'ya (dari akar kata roaa), dan alhulm (dari akar kata halama). Arru'ya berasal dari kata "roaa" artinya melihat. Dalam kalimat bahasa Arab sering dikatakan "roaa fii manaamihi", artinya melihat sesuatu dalam tidurnya yang artinya bermimpi. Kata lain dalam bahasa arab yang artinya mimpi yaitu "al hulm", contoh dalam kalimat misalnya "halama fii manaamihi ", artinya bermimpi dalam tidurnya.
Â
Kedua terma, ru'ya dan al hulm, ditemukan beberapa kali dalam Al Qur'an. Terma ru'ya disebut sebanyak dua belas kali, yaitu yang berhubungan dengan mimpi yang dialami oleh Nabi dan oleh orang biasa. Dalam surat Alquran Yusuf ayat 4 misalnya dikisahkan bahwa Yusuf ketika masih kanak-kanak bermimpi melihat sebelas bintang, matahari dan bulan tunduk kepadanya. Ayat 43 surat yang sama mengisahkan bahwa Raja Mesir bermimpi melihat tujuh ekor sapi gemuk dimakan oleh tujuh ekor sapi kurus.
Demikian juga nabi Muhammad dalam Alquran surat Al Fath ayat 27 dikisahkan bermimpi memasuki Masjid Haram dengan aman, dan pada surat Al Isra ayat 60 dikisahkan beliau bermimpi tentang Perang Badar. Nabi Ibrahim juga menerima perintah menyembelih Isma'il Alaihissalam, putranya, melalui mimpi. Dua orang pegawai Kerajaan Mesir yang dipenjara bersama Yusuf juga dikisahkan dalam Alquran surat Yusuf ayat 36 bermimpi; yang satu kembali bekerja melayani raja, dan yang satu bermimpi membawa roti diatas kepala, tapi rotinya dimakan burung.
Sedangkan terma al hulm disebut dalam Al Qur'an sebanyak lima kali. Dua kali term al hulum (dari halama yahlumu) dalam arti mimpi yang pertama. Satu kali ahlam (dari haluma yahlumu hilm) dalam arti fikiran-fikiran. Dan dua kali disebut adghats ahlam, dalam arti mimpi-mimpi kalut atau kacau, yakni pada Alquran surat Yusuf ayat 44 dan surat Al Anbiyaa ayat 5.
Dalam surat Al Anbiyaa ayat 5 disebutkan bahwa kaum musyrikin menilai ayat-ayat Qur'an itu tidak lebih dari produk mimpi Muhammad yang kalut dan kacau. Pegawai Kerajaan Mesir yang tidak sanggup menta`birkan mimpi Rajanya. Yaitu mimpi melihat tujuh sapi gemuk dimakan tujuh ekor sapi kurus, seperti dikisahkan dalam surat Yusuf ayat 44 juga memandang mimpi Al Aziz (sebutan Raja Mesir pada waktu itu) sebagai mimpi yang kalut.
Dari ayat-ayat tersebut diatas dapat disimpulkan bahwa bagi manusia dengan kapasitas dan kualitas nafs tertentu, tidur lebih bersifat fisik, karena nafsnya masih bisa menerima stimulus dari luar dirinya dalam bentuk ilham atau wahyu. Seperti yang dialami oleh nabi Ibrahim ketika menerima perintah Allah untuk menyembelih putranya sebagai kurban atau oleh nabi Muhammad ketika diberitahu lebih dahulu oleh Allah bahwa kaum muslimin akan berhasil menziarahi Makkah secara aman.
Jadi, impian bisa merupakan isyarat dari apa yang telah, sedang atau akan terjadi, disebut (ru'ya al haqq) seperti yang ikisahkan dalam Alquran surat Al Fath ayat 27 tersebut di atas. Nabi Yusuf, seperti yang dikisahkan dalam Alquran surat Yusuf ayat 4 ketika masih kanak-kanak bermimpi melihat sebelas bintang, bulan dan matahari tunduk kepadanya. Suatu impian yang menjadi isyarat sejarah tentang perjalanan hidup dan nasib baiknya di belakang hari, satu hal yang dapat membuat saudara-saudaranya iri hati sehingga Nabi Ya'qub, ayah Yusuf seperti yang dikisahkan dalam lanjutan dari ayat tersebut (ayat 5) melarangnya untuk menceritakan mimpinya itu kepada orang lain.