"kenyataan hari ini adalah mimpi hari kemarin, dan kenyataan hari esok adalah mimpi hari ini" (Hasan Al Bana)
Tahun 1997, bersama beberapa orang sahabat saya mendirikan sebuah Yayasan. Podiumm (dengan M dobel) namanya. Ia merupakan kependekan dari Pondik Studi Masyarakat Madani. Yayasan ini kami dirikan sebagai badan hukum yang mewadah ikhtiar untuk menyelenggarakan pendidikan bagi anak-anak yang berasal dari keluarga-keluarga tidak berkemampuan secara ekonomi.
Bersama yayasan inilah kami tancapkan tonggak sebuah mimpi. Mimpi memiliki lembaga pendidikan Islam inklusif dimana setiap anak, anak siapa saja, bisa menjadi santrinya dan membangun mimpi tentang masa depannya.
Sekira dua tahun kami berjuang menyiapkan segala yang dibutuhkan. Mulai dari rancangan konsep pendidikan, menyiapkan dokumen-dokumen yang dipersyaratkan, membangun jejaring, hingga mengumpulkan dana secara swadaya. Bersama yayasan ini, dua tahun kemudian, tepatnya Juni 1999 kami mendirikan Pesantren Nurul Madany.
Juni 2024 kemarin Pesantren Nurul Madany yang berlokasi di Kampung Babakan Pedes Desa Sipayung Kecamatan Cipanas Kabupaten Lebak Provinsi Banten ini genap berusia 25 tahun. Tahaduts bi nikmat, setelah menempuh jalan berliku dan penuh tantangan di sepanjang dua setengah dekade, pesantren  Nurul Madany kini menjadi salah satu alternatif bagi masyarakat Banten dan sekitarnya yang ingin menitipkan putra-putrinya di lembaga pendidikan Islam terpadu di Banten.
Demikian sekelumit kisah perjalanan Pesantren Nurul Madany yang direkam dalam buku "Menembus Batas Mimpi, Memoar Perjalanan Seperempat Abad Pesantren Nurul Madany." Buku ini saya rancang bersama Pimpinan Pesantren (Mudirul Ma'had) Kyai Abdullah Alhadad, kemudian ditulis oleh Ustadzah Pipit Piharsi, Kepala SMP Nurul Madany yang sebelumnya telah menerbitkan beberapa antologi.
Lazimnya sebuah memoar, buku ini memuat rangkaian fase perjalanan sejarah Pesantren Nurul Madany. Dimulai dari latar belakang lahirnya percikan gagasan, persiapan pendirian, proses kelahiran, hingga ke tahapan perkembangan demi perkembangannya selama 25 tahun.
Selain mendokumentasikan aspek-aspek proses dan perkembangan pembelajaran serta pertumbuhan pesantren dari segi fisik. Kemudian capaian-capaian prestatifnya sebagai lembaga pendidikan serta testimoni para alumni dan tokoh masyarakat. Satu sisi penting dari buku ini adalah narasi soal Mimpi yang dipilih menjadi bagian utama dari judul buku.
Berawal dari MimpiÂ
Buku "Menembus Batas Mimpi..." merupakan rekaman perjalanan sejarah Pesantren Nurul Madany yang pondasi sejarahnya dibangun dari mimpi.
Mimpi, dalam ruang kelaziman kehidupan manusia adalah sebuah bentuk pengalaman bawah sadar. Pengalaman yang terjadi diluar kendali kesadaran, karena ia datang tak diundang dan hadir tak dikehendaki.
Dalam mimpi, manusia praktis bersifat pasif. Pengalaman inderawinya beroperasi secara otomatis, sekali lagi, diluar kontrol kesadarannya. Itulah sebabnya, wujud rangkaian peristiwa atau struktur kejadian dalam mimpi seringkali, jika tidak selalu, bersifat irasional dan random. Dalam ungkapan keseharian, mimpi lazim disebut sebagai "bunga tidur", bersifat aksesoris meski tak selalu indah.
Akan tetapi, dalam pandangan Ibnu Arabi, mimpi adalah bagian dari imajinasi. Ruang dimana penampakan wujud-wujud spiritual seperti para malaikat dan roh, memperoleh bentuk dan figur-figur rupa pengejewantahannya. Karena disana konsep-konsep murni (ma`ani) dan data inderawi (mahsusat) bertemu dan memekar menjadi figur-figur personal yang dipersiapkan untuk menghadapi drama event rohani.
Kecakapan imajinasi itu selalu aktif baik sedang dalam keadaan bangun maupun dalam keadaan tidur. Selama terjaga kecakapan ini bahkan kerap disimpangkan oleh kesan-kesan inderawi (sense impression) untuk melakukan pekerjaannya secara wajar. Tapi dalam keadan tidur, ketika indera-indera dan kecakapan lainya sedang istirahat, imajinasi justru terbangun semuanya.
Â
Sementara itu, dalam sejarah risalah kenabian, mimpi adalah pesan-pesan Ilahiyah yang ditujukan untuk mengubah peradaban. Pesan ini dikirim kepada pribadi-pribadi yang siap untuk menerima pesan itu dan menafsirkannya secara benar.
Kita tahu, sosok para nabi sepanjang masa adalah pribadi-pribadi yang siap untuk menerima dan berjuang membela keyakinan dengan teguh dan gigih. Kalau mereka sudah percaya dan yakin bahwa pesan itu datang dari Allah, maka mereka tidak ragu lagi untuk melangkah dan menjalankannya. Seperti dijelaskan dalam sebuah hadits Rasulullah SAW, "ru`ya shadiqah (mimpi baik) itu merupakan satu bagian dari empat puluh enam bagian risalah kenabian".
Â
Mimpi Nabi Ibrahim Alaihissalam tentang perintah untuk mengorbankan putranya, Ismail, adalah contoh fenomenal perihal mimpi sebagai pesan Ilahiyah yang mengandung kebenaran sejati. Demikian pula tafsir Nabi Yusuf Alaihissalam atas mimpi Raja Qithfir yang telah menyelamatkan bangsa Mesir dan Bani Israil dari bencana kelaparan dan kematian. Pun mimpi Nabi Muhammad SAW menandai diawalinya penurunan wahyu Al Quran.
Bertolak dari perspektif itulah, kemudian para ulama pada umumnya mengklasifikasi mimpi kedalam tiga jenis. Yaitu : mimpi yang berasal dari Allah (ru'ya shodiqoh), mimpi yang berasal dari syetan, dan mimpi yang berasal dari kondisi psikologis manusia sendiri.
Dalam sudut pemaknaan yang sama sekali berbeda namun tetap memiliki "titik sambung" substantif, para bijak dan arif, lazimnya memaknai mimpi sebagai cita-cita visioner; gambaran ideal suatu keadaan masa depan. Dalam konteks ini, mimpi memiliki semacam fungsi sebagai "media kreatif", alat penciptaan. Media atau alat yang mampu menciptakan keadaan masa depan tertentu. Maka seperti diungkapkan dalam kalimat bijak Al Bana diatas, "kenyataan hari ini adalah mimpi hari kemarin, dan kenyataan hari esok adalah mimpi hari ini".
Â
Jadi, jika kita berkehendak kenyataan hari ini baik, maka kemarin seharusnya cita-cita yang kita rancang dan pastikan harus baik. Demikian pula, jika kita menginginkan kenyataan hari esok baik, maka hari ini cita-cita yang kita rancang dan pastikan tentulah harus baik.
Dalam pandangan Al Bana, performa wajah dunia atau kehidupan ini jadinya memang, bukan hanya dibangun, tetapi juga ditentukan oleh dan dari mimpi demi mimpi. Mimpi, alias cita-cita yang "biasa-biasa saja" niscaya hanya akan melahirkan wajah kehidupan yang juga "biasa-biasa saja". Sebaliknya, mimpi atau cita-cita yang dahsyat berpotensi besar melahirkan kenyataan hidup yang juga dahsyat.
Itu sebabnya, para orang tua selalu menasihatkan kepada anak-anaknya agar menggantungkan cita-cita hidup mereka setinggi langit. Suatu jarak ketinggian yang dahsyat, karena melebihi apapun obyek di ruang semesta yang dapat dijangkau oleh pandangan mata.
Mimpi dalam Perspektif Al Quran
Dalam memaknai mimpi, bahasa Arab mengenal dua istilah, yaitu arru'ya (dari akar kata roaa), dan alhulm (dari akar kata halama). Arru'ya berasal dari kata "roaa" artinya melihat. Dalam kalimat bahasa Arab sering dikatakan "roaa fii manaamihi", artinya melihat sesuatu dalam tidurnya yang artinya bermimpi. Kata lain dalam bahasa arab yang artinya mimpi yaitu "al hulm", contoh dalam kalimat misalnya "halama fii manaamihi ", artinya bermimpi dalam tidurnya.
Â
Kedua terma, ru'ya dan al hulm, ditemukan beberapa kali dalam Al Qur'an. Terma ru'ya disebut sebanyak dua belas kali, yaitu yang berhubungan dengan mimpi yang dialami oleh Nabi dan oleh orang biasa. Dalam surat Alquran Yusuf ayat 4 misalnya dikisahkan bahwa Yusuf ketika masih kanak-kanak bermimpi melihat sebelas bintang, matahari dan bulan tunduk kepadanya. Ayat 43 surat yang sama mengisahkan bahwa Raja Mesir bermimpi melihat tujuh ekor sapi gemuk dimakan oleh tujuh ekor sapi kurus.
Demikian juga nabi Muhammad dalam Alquran surat Al Fath ayat 27 dikisahkan bermimpi memasuki Masjid Haram dengan aman, dan pada surat Al Isra ayat 60 dikisahkan beliau bermimpi tentang Perang Badar. Nabi Ibrahim juga menerima perintah menyembelih Isma'il Alaihissalam, putranya, melalui mimpi. Dua orang pegawai Kerajaan Mesir yang dipenjara bersama Yusuf juga dikisahkan dalam Alquran surat Yusuf ayat 36 bermimpi; yang satu kembali bekerja melayani raja, dan yang satu bermimpi membawa roti diatas kepala, tapi rotinya dimakan burung.
Sedangkan terma al hulm disebut dalam Al Qur'an sebanyak lima kali. Dua kali term al hulum (dari halama yahlumu) dalam arti mimpi yang pertama. Satu kali ahlam (dari haluma yahlumu hilm) dalam arti fikiran-fikiran. Dan dua kali disebut adghats ahlam, dalam arti mimpi-mimpi kalut atau kacau, yakni pada Alquran surat Yusuf ayat 44 dan surat Al Anbiyaa ayat 5.
Dalam surat Al Anbiyaa ayat 5 disebutkan bahwa kaum musyrikin menilai ayat-ayat Qur'an itu tidak lebih dari produk mimpi Muhammad yang kalut dan kacau. Pegawai Kerajaan Mesir yang tidak sanggup menta`birkan mimpi Rajanya. Yaitu mimpi melihat tujuh sapi gemuk dimakan tujuh ekor sapi kurus, seperti dikisahkan dalam surat Yusuf ayat 44 juga memandang mimpi Al Aziz (sebutan Raja Mesir pada waktu itu) sebagai mimpi yang kalut.
Dari ayat-ayat tersebut diatas dapat disimpulkan bahwa bagi manusia dengan kapasitas dan kualitas nafs tertentu, tidur lebih bersifat fisik, karena nafsnya masih bisa menerima stimulus dari luar dirinya dalam bentuk ilham atau wahyu. Seperti yang dialami oleh nabi Ibrahim ketika menerima perintah Allah untuk menyembelih putranya sebagai kurban atau oleh nabi Muhammad ketika diberitahu lebih dahulu oleh Allah bahwa kaum muslimin akan berhasil menziarahi Makkah secara aman.
Jadi, impian bisa merupakan isyarat dari apa yang telah, sedang atau akan terjadi, disebut (ru'ya al haqq) seperti yang ikisahkan dalam Alquran surat Al Fath ayat 27 tersebut di atas. Nabi Yusuf, seperti yang dikisahkan dalam Alquran surat Yusuf ayat 4 ketika masih kanak-kanak bermimpi melihat sebelas bintang, bulan dan matahari tunduk kepadanya. Suatu impian yang menjadi isyarat sejarah tentang perjalanan hidup dan nasib baiknya di belakang hari, satu hal yang dapat membuat saudara-saudaranya iri hati sehingga Nabi Ya'qub, ayah Yusuf seperti yang dikisahkan dalam lanjutan dari ayat tersebut (ayat 5) melarangnya untuk menceritakan mimpinya itu kepada orang lain.
Di belakang hari (menurut sebagian mufassir sekitar 40 tahun kemudian), impian itu seperti yang dikisahkan dalam Alquran surat Yusuf ayat 100 itu menjadi kenyatan sejarah.
Mimpi yang benar (dalam arti nyata, menjadi suatu kenyataan) tidak mesti dialami oleh seorang mukmin. Raja Qithfir (raja Mesir pada waktu itu) pun seperti yang dikisahkan dalam surat Yusuf ayat 43 pernah bermimpi melihat tujuh ekor sapi gemuk dimakan tujuh ekor sapi kurus. Seperti yang dikisahkan dalam Alquran surat Yusuf ayat 47-49, mimpi ini ditakwilkan oleh Nabi Yusuf sebagai isyarat akan datangnya musim paceklik dan cara-cara mengantisipasinya, sebagaimana juga dua teman yusuf di penjara bermimpi masing-masing memperoleh keberuntungan dan nasib buruk.
Sedangkan istilah adghats ahlam, mimpi yang kacau, adalah mimpi yang dialami oleh orang-orang yang jiwanya sedang dalam keadaan labil dan atau gelisah. Istilah ini pernah digunakan secara keji oleh orang-orang musyrik, yang menuduh bahwa Al Qur'an adalah refleksi dari mimpi-mimpi Muhammad yang kacau-balau (bersambung).
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H