Mohon tunggu...
Agus Sutisna
Agus Sutisna Mohon Tunggu... Dosen - Lecturer I Researcher IInstagram : @kiagussutisna

Dosen | Pegiat Sosial | Menulis berharap ridho Allah dan manfaat bagi sesama I Nominee Kompasiana Award 2024 - Best in Opinion

Selanjutnya

Tutup

Vox Pop Artikel Utama

Pilkada Banten, Koalisi Gigantis, dan Calon Tunggal

25 Juli 2024   14:10 Diperbarui: 26 Juli 2024   06:06 784
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Jika itu terjadi maka tuntas sudah. Pilgub Banten bakal diikuti oleh hanya dua peserta. Yakni Paslon Andra-Dimyati dan Kotak Kosong! PDIP ditinggal sendiran, pilihannya kemudian ikut bergabung sebagai partai terakhir dengan perahu besar bernama KBM (?). Atau menjadi "single fighter", memimpin rakyat membantu kotak kosong memenangi Pilkada.

Kegagalan Partai Politik

Lantas mengapa kehadiran kotak kosong pantas dikhawatirkan ? Penting dikemukakan lebih dulu, kehadiran kotak kosong ini merupakan implikasi politik dari proses kandidasi dimana partai-partai politik bersepakat mengajukan hanya satu pasangan calon Kepala dan Wakil Kepala Daerah. Atau dengan istilah yang lebih popular adalah calon tunggal.

Dari sisi hulu atau latar belakang, kehadiran kotak kosong mengisyaratkan ada gejala yang tidak sehat dalam sistem kepartaian kita, khususnya terkait proses demokrasi elektoral di tingkak lokal (Pilkada).

Dalam konteks ini partai-partai gagal menjalankan salah satu fungsi dasarnya sebagai sarana rekruitmen kepemimpinan politik yang demokratis di semua tingkatan pemerintahan demokrasi.

Pilkada sebagai arena kontestasi demokrasi sejatinya menyajikan kepada publik pilihan-pilihan yang lebih dari satu. Karena hanya dengan cara inilah makna kontestasi sekaligus hakikat demokrasi ditunjukan.

Calon tunggal itu contradictio in terminis. Kontradiksi sejak dalam pikiran dan terma, melawan natur kontestasi, sekaligus menjadi paradoks demokrasi.

Bahwa rakyat disilahkan untuk memilih kotak kosong sebagai lawan tandingnya jika tidak setuju dengan figur paslon tunggal itu, ruang pilihan demikian yang diberikan regulasi inipun tetap saja tidak bisa menghilangkan fakta bahwa pemilih sesungguhnya "dipaksa" untuk setuju dengan figur yang disediakan partai-partai.

Mengapa? Sebab ketika kotak kosong yang memenangi kontestasi, Pilkada harus diulang, bukan mempersilahkan kotak kosong menjadi Kepala dan Wakil Kepala Daerah.

Tentu saja, concern masalahnya bukan pada soal kotak kosong mustahil menjadi Gubernur, Bupati atau Walikota meski memenangi kontestasi. Melainkan pada soal nalar politik yang melawan natur demokrasi.

Sekali lagi, pemilihan itu mengasumsikan ada subyek yang setara lebih dari satu opsi untuk dipilih, bukan tunggal atau diadu dengan subyek yang tidak setara. Apalagi ini memilih pasangan calon pemimpin.

Rendah Partisipasi dan Absennya Kompetisi

Keberadaan calon tunggal yang berdampak pada hadirnya kotak kosong sebagai "peserta" Pilkada juga potensial berdampak buruk bagi pelaksanaan demokrasi elektoral di daerah.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Vox Pop Selengkapnya
Lihat Vox Pop Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun