Jika itu terjadi maka tuntas sudah. Pilgub Banten bakal diikuti oleh hanya dua peserta. Yakni Paslon Andra-Dimyati dan Kotak Kosong! PDIP ditinggal sendiran, pilihannya kemudian ikut bergabung sebagai partai terakhir dengan perahu besar bernama KBM (?). Atau menjadi "single fighter", memimpin rakyat membantu kotak kosong memenangi Pilkada.
Kegagalan Partai Politik
Lantas mengapa kehadiran kotak kosong pantas dikhawatirkan ? Penting dikemukakan lebih dulu, kehadiran kotak kosong ini merupakan implikasi politik dari proses kandidasi dimana partai-partai politik bersepakat mengajukan hanya satu pasangan calon Kepala dan Wakil Kepala Daerah. Atau dengan istilah yang lebih popular adalah calon tunggal.
Dari sisi hulu atau latar belakang, kehadiran kotak kosong mengisyaratkan ada gejala yang tidak sehat dalam sistem kepartaian kita, khususnya terkait proses demokrasi elektoral di tingkak lokal (Pilkada).
Dalam konteks ini partai-partai gagal menjalankan salah satu fungsi dasarnya sebagai sarana rekruitmen kepemimpinan politik yang demokratis di semua tingkatan pemerintahan demokrasi.
Pilkada sebagai arena kontestasi demokrasi sejatinya menyajikan kepada publik pilihan-pilihan yang lebih dari satu. Karena hanya dengan cara inilah makna kontestasi sekaligus hakikat demokrasi ditunjukan.
Calon tunggal itu contradictio in terminis. Kontradiksi sejak dalam pikiran dan terma, melawan natur kontestasi, sekaligus menjadi paradoks demokrasi.
Bahwa rakyat disilahkan untuk memilih kotak kosong sebagai lawan tandingnya jika tidak setuju dengan figur paslon tunggal itu, ruang pilihan demikian yang diberikan regulasi inipun tetap saja tidak bisa menghilangkan fakta bahwa pemilih sesungguhnya "dipaksa" untuk setuju dengan figur yang disediakan partai-partai.
Mengapa? Sebab ketika kotak kosong yang memenangi kontestasi, Pilkada harus diulang, bukan mempersilahkan kotak kosong menjadi Kepala dan Wakil Kepala Daerah.
Tentu saja, concern masalahnya bukan pada soal kotak kosong mustahil menjadi Gubernur, Bupati atau Walikota meski memenangi kontestasi. Melainkan pada soal nalar politik yang melawan natur demokrasi.
Sekali lagi, pemilihan itu mengasumsikan ada subyek yang setara lebih dari satu opsi untuk dipilih, bukan tunggal atau diadu dengan subyek yang tidak setara. Apalagi ini memilih pasangan calon pemimpin.
Rendah Partisipasi dan Absennya Kompetisi
Keberadaan calon tunggal yang berdampak pada hadirnya kotak kosong sebagai "peserta" Pilkada juga potensial berdampak buruk bagi pelaksanaan demokrasi elektoral di daerah.