Tahapan Pemilu, khususnya Pilpres tinggal menyisakan satu kegiatan yakni pelantikan/pengambilan sumpah jabatan Presiden dan Wakil Presiden terpilih yang sudah diagendakan tanggal 20 Oktober mendatang.
Suhu politik juga terasa semakin melandai. Terutama di kalangan elit parpol yang pada saat kontestasi Pilpres berlangsung tampil nyinyir saling menyindir bahkan terkadang garang saling menyerang. Dan entah disadari atau tidak, perilaku mereka telah "memprovokasi" publik untuk saling bertengkar di berbagai medan tempur elektoral.
Patutkah disesali? Tentu saja tidak. Sepanjang sindir menyindir dan serang menyerang itu berlangsung dalam koridor demokrasi elektoral dan dalam bingkai politik kebangsaan.
Dan pada sisi ini, terlepas dari "insiden-insiden kecil" yang sempat muncul, hemat saya kampanye khususnya forum debat Pilpres 2024 beberapa waktu lalu telah berhasil menyuguhkan hakikat kontestasi yang sesungguhnya. Yakni adu gagasan dalam suasana diskursif dan dialektik.
Tawaran ide-ide otentik, gagasan-gagasan visioner, dan misi-misi programatik terutama dari Anies-Muhaimin dan Ganjar-Mahfud, yang nyata-nyata merupakan anti-tesis dari visi dan misi keberlanjutan Prabowo-Gibran sangat menarik dan karenanya layak dirawat serta (tetap) diperjuangkan.
Lantas siapa yang memperjuangkan? Bukankah didalam tradisi demokrasi berlaku "hukum besi" kepolitikan elektoral, bahwa pemenang kontestasi yang berhak menjalankan dan mewujudkan visi misi dan program-programnya? Bukan kubu-kubu yang kalah.
Demikian memang rule of game yang berlaku dan disepakati. Tetapi demokrasi, sejak awal kehadirannya dalam peradaban pemikiran politik telah mengusung suatu prinsip dasar yang juga disepakati secara universal. Bahwa semua elemen warga negara, individu maupun kolektif, tidak peduli berada di kubu pemenang atau pecundang, semuanya tetap berhak diberi ruang untuk menyuarakan pikiran, pandangan dan kepentingannya.
Diatas prinsip dasar itulah kemudian keberadaan kelompok-kelompok oposan dan anti-tesis kekuasaan diakui dan diberikan ruang untuk berkiprah. Fungsi dan peran oposisional ini sah dalam tradisi demokrasi dan dijamin oleh konstitusi sepanjang kehadiran dan perilakunya berada dalam koridor ketatanegaraan dan hukum yang telah menjadi konsensus bersama.
Hemat saya, Anies dan Ganjar bisa mengisi ruang yang disediakan demokrasi serta memainkan fungsi dan peran-peran oposisional terhadap kekuasaan dalam kerangka diskursus politik kebijakan untuk kepentingan negara bangsa.
Melalui jalan ini pula, keduanya (bisa sinergi, bisa juga mandiri) terus memperjuangkan gagasan-gagasan visioner yang diyakininya sebagaimana mereka tawarkan kepada rakyat melalui panggung debat dan kampanye ketika kontestasi Pilpres berlangsung.
Mengapa Harus Oposisi?
Dalam praktik politik ketatanegaraan demokratik, istilah oposisi lazimnya digunakan dalam konteks relasi kekuasaan antara pemerintah dan parlemen, eksekutif dan legislatif.
Oposisi adalah kubu di dalam parlemen yang kalah Pemilu dan memilih untuk menjadi "sparing partner" politik bagi kubu pemenang Pemilu yang mendapat mandat berkuasa atau memerintah.
Ringkasnya, oposisi itu lazimnya memang ada di dalam parlemen. Tetapi fungsi dan peran-peran oposisional bisa dilakukan oleh siapapun warga negara yang berada di luar parlemen.
Dalam tradisi demokrasi, setiap warga negara berhak memilih sikap berbeda bahkan terhadap penguasa, dan berhak pula memperjuangkan pilihannya yang berbeda itu secara konstitusional. Inilah hakikat fungsi dan peran oposisional yang dimaksud.
Lalu mengapa Anies dan Ganjar perlu mengambil fungsi dan peran oposisional setelah Pilpres selesai? Sedikitnya ada dua alasan penting yang saya yakin, Anies dan Ganjar telah lebih dulu menyadarinya.
Pertama, ada puluhan juta rakyat yang menitipkan aspirasi dengan memilih keduanya pada Pilpres lalu. Baik yang memilih Anies maupun Ganjar menginginkan perubahan-perubahan kebijakan yang signifikan dalam banyak sisi kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Mulai dari isu pendidikan, kesenjangan sosial, ketenagakerjaan, kemudahan berusaha, pemberantasan korupsi, hingga penegakan hukum.
Tentu saja, Prabowo-Gibran juga memiliki program terkait agenda-agenda tersebut. Tetapi fokus dan prioritasnya jelas berbeda. Prabowo-Gibran bertumpu pada garis dasar keberlanjutan, Anies-Muhaimin perubahan, dan Ganjar-Mahfud perubahan (selektif) dengan sejumlah catatan dan pengecualian.
Aspirasi hampir 50 jutaan pemilih Anies dan Ganjar itu tentu tidak boleh dianggap remeh temeh. Deretan aspirasi itu wajib diperjuangkan oleh Anies dan Ganjar melalui berbagai cara politik yang legal dan dimungkinkan, yakni jalan diskursus politik kebijakan.
Perjuangan itu bisa disinergikan dengan kekuatan elemen-elemen masyarakat sipil dan kalangan cendekiawan yang satu frekwensi dalam melihat problematika, tantangan dan kebutuhan dinamis negara bangsa kedepan.
Kedua, mencermati gejala dan perilaku elit politik yang berkembang akhir-akhir ini ada kecenderungan kuat bahwa semua elit partai ingin bergabung dalam koalisi pemerintahan Prabowo-Gibran.
Kecuali PDIP dan PKS, semua elit partai termasuk yang mengusung Anies (Nasdem dan PKB) dan Ganjar (PPP) sudah menyatakan bakal bergabung kedalam pemerintahan baru.
Gejala itu jelas tidak sehat dalam berdemokrasi. Tradisi dialektik dalam diskursus politik kebijakan akan meredup. Demokrasi deliberatif tidak akan bisa ditumbuh kembangkan. Karena hegemoni kekuasaan akan mematikan prinsip dasar demokrasi, yakni check and balances, pengawasan dan keseimbangan politik dalam relasi negara dan rakyat.
Hadirnya Anies dan Ganjar. Apalagi jiak bersama-sama dan didukung penuh oleh sikap politik PKS (Anies) dan PDIP (Ganjar) jelas akan menjaga nafas demokrasi tetap lega, menghidupkan tradisi dialektik dan perdebatan diskursif yang otentik dalam kerangka perancangan dan proposal-proposal politik kebijakan oleh pemerintah.
Dalam kaitan inilah, sudah tepat pernyataan Ganjar beberapa waktu lalu bahwa dirinya akan mengambil sikap oposisi terhadap pemerintahan Prabowo-Gibran. Sebuah konsistensi, barang mewah di kalangan elit politik yang kian jarang ditemukan pengejewantahannya, dan karena itu layak diapresisasi.
Tinggal menunggu sikap tegas dan konsistensi Anies. Apakah siap merawat semangat dan terus memperjuangkan titipan amanah puluhan juta pemilihnya dengan menjalankan fungsi dan peran oposisional seperti Ganjar, atau menjadi lumer karena "godaan politik" baru yang bernama Pilkada?
Artikel terkait:Â Mengembalikan Pilkada (Serentak) 2024 pada Khittahnya
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H