Mohon tunggu...
Agus Sutisna
Agus Sutisna Mohon Tunggu... Dosen - Lecturer I Researcher IInstagram : @kiagussutisna

Dosen | Pegiat Sosial | Menulis berharap ridho Allah dan manfaat bagi sesama I Nominee Kompasiana Award 2024 - Best in Opinion

Selanjutnya

Tutup

Ramadan Pilihan

Muhasabah: Introspeksi, Perbaikan Kualitas Taqwa dan Interaksi Sosial

21 April 2024   13:15 Diperbarui: 21 April 2024   13:25 1088
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pasca Ramadhan dan Idul Fitri, sebagaimana tawsiyah para alim, umat Islam dianjurkan untuk melakukan "Muhasabah" berkenaan dengan ibadah dan amalan-amalan yang telah dilakukannya di sepanjang bulan Ramadhan kemarin. Termasuk tentu saja bagaimana setiap orang mengisi perayaan Idul Fitrinya.

Istilah "Muhasabah" (bahasa Arab) berasal dari akar kata "Hasaba-Yahsibu/Yahsubu." Muhasabah merupakan bentuk mashdar, yakni kata yang menunjukan suatu perbuatan atau kejadian, dan tidak memiliki keterangan waktu atau subyek. Artinya perhitungan. Dalam KBBI dimaknai dengan introspeksi. Dari akar kata ini pula istilah "Hisab" (menghitung, perhitungan) dan "Yaumul Hisab" (hari perhitungan amal) berasal.

Secara terminologis "Muhasabah" artinya adalah ikhtiar berupa pemeriksaan, peninjauan, penilaian, penghitungan (introspeksi, evaluasi, hisab) sekaligus koreksi atau otokritik terhadap segala amal perbuatan dan sikap serta kesalahan dan kelemahan diri sendiri yang telah dilakukannya.

Berdasarkan 'Ijma para ulama, Muhasabah hukumnya wajib bagi umat Islam merujuk antara lain pada Al Quran surat Al-Hasyr ayat 18:

"Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk esok (hari akhirat) dan bertakwalah kepadaAllah. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan."

Lebih dari sekedar introspeksi atas apa yang telah dilakukan setiap orang sebagaimana yang secara umum lazim difahami, ayat ini sesungguhnya juga mengisyaratkan perihal pentingnya mempersiapkan diri menghadapi hari akhirat kelak.

Di dalam kitab tafsirnya yang populer, Jami' al-Bayan fi Ta'wil al-Qur'an misalnya, Imam Ath-Thobari menjelaskan, bahwa setiap orang hendaknya memperhatikan apa yang telah ia kerjakan untuk hari kiamat. Apakah dari amal saleh yang akan menyelamatkannya, atau dari amal buruk yang akan membakarnya.

Demikian halnya dengan tafsir Imam Fakhruddin ar Razi dalam kitabnya Al Kabir Mafatihul Ghaib. Ia menjelaskan bahwa ayat ini memiliki makna, setiap orang wajib mempersiapkan diri untuk hari kiamat. Karena setiap orang akan melihat dan mempertanggungjawabkan perbuatannya sendiri di hadapan Allah SWT kelak.

Dalam kaitan mempersiapkan diri untuk menghadapi hari akhir nanti, melalui Umar bin Khattab radiyaallahu'anhu, Rosulullah SAW berwasiat: 

"Hisablah dirimu sebelum kamu dihisab (di hadapan Allah), dan hiasilah dirimu sekalian (dengan amal shaleh), karena adanya sesuatu yang lebih luas dan besar, dan sesuatu yang meringankan hisab di hari kiamat yaitu orang-orang yang bermuhasabah atas dirinya ketika di dunia." (H.R. Imam At-Tirmidzi).

Kapan dan Dimana Muhasabah Dilakukan?
Dalam arti sebagai aktifitas, Muhasabah merupakan perbuatan (olah amal) hati dan pikiran yang tidak dibatasi ruang dan waktu, dan tidak perlu mengganggu aktifitas fisik seperti bekerja. Oleh sebab itu sejatinya Muhasabah bisa dilakukan kapanpun dan dimana saja seseorang berada.  

Akan tetapi jika merujuk dan meneladani Rosulullah SAW, para sahabat, tabi'in dan tabi'it tabi'in (kalangan salafush shalih), Muhasabah sebaiknya dilakukan pada waktu-waktu tertentu dan tempat-tempat khusus.

Waktu tertentu itu misalnya adalah ketika usai menunaikan sholat fardhu lima waktu, yakni ketika berdizkir dan berdoa ba'da sholat. Atau dengan cara I'tikaf di Mesjid. Atau dilakukan ketika melaksanakan qiyamullail (sholat tengah malam, Tahajud dan/atau Witir). Suasana hening tengah malam akan memberikan efek kebathinan berupa hadirnya kekhusuan.  

Dan tempat terbaik untuk melakukan Muhasabah khusus itu tidak lain adalah Mesjid. Atau jika di rumah adalah Mushola atau ruang khusus yang sengaja difungsikan sebagai tempat sholat dan tempat berkontemplasi keluarga. Tempat yang steril dari segala peralatan keseharian, dan hanya ada sajadah, Al Quran, tasbih, atau buku-buku keislaman.

Seperti diriwayatkan dalam berbagai kitab Sirah Nabawiyah, Muhasabah dengan memilih waktu khusus (terutama malam hari) dan tempat tertentu (paling sering di gua Hira bukit Janal Nur) biasa dilakukan oleh Nabi Muhammad SAW dengan cara berkhalwat, bahkan jauh sebelum beliau diangkat sebagai Rasul.

Berkhalwat (dalam makna positif tentu saja) artinya adalah menarik diri atau 'uzlah dari keriuhan-keriuhan urusan duniwai untuk merenung, menenangkan pikiran, dan mendekatkan diri kepada Maha Pencipta dan Penguasa semesta. Di gua Hira ini pula beliau menerima wahyu pertamanya dari Allah SWT.

Faedah Muhasabah 

Secara syar'i Muhasabah adalah perbuatan yang disyariatkan dan menurut Ijma Ulama hukumnya wajib. Oleh karena itu melaksanakannya dengan penuh kesadaran dan sesuai kaidah-kaidah yang dicontohkan Nabi merupakan ibadah. Ini adalah faedah pertama dan dengan sendirinya akan diraih ketika seseorang melakukan Muhasabah dengan niyat semata-mata lilaahi ta'ala (untuk Allah).

Selain merupakan ikhtiar dan perbuatan yang bernilai ibadah, Muhasabah juga mengandung faedah atau kemanfaatan-kemanfaatan lainnya.

Pertama, Muhasabah yang dilakukan sepanjang waktu atau kesempatan akan menjaga diri dari potensi perbuatan-perbuatan maksiat yang setiap hari menghampiri. Semakin sering dan rajin melakukan Muhasabah maka akan semakin kecil dan sempit jalan untuk berbuat maksiat.

Kedua, Muhasabah akan mendorong peningkatan kualitas ibadah (ritual) sekaligus amalan-amalan (sosial). Semakin sering dan rajin melakukan Muhasabah maka akan semakin membaik kualitas ibadah ritual maupun amalan-amalan sosial.

Ketiga, Muhasabah akan meringankan hisab kelak di hari Qiyamat sebagaimana diisyaratkan dalam hadits Rosulullah SAW diatas. Dengan Muhasabah seseorang sejatinya melakukan hisab pendahuluan (menghitung, mengevaluasi segala amal perbuatannya) di dunia.

Dalam kaitan ini Muhammad Jamaluddin al-Qassimi didalam kitab Mau'izatul Mukminin min Ihya 'Ulumiddin mengatakan, bahwa siapa pun yang introspeksi diri sebelum dihakimi, maka perhitungannya di hari kiamat akan menjadi lebih ringan, jawabannya akan siap ketika ditanya, dan akhir dan kembalinya akan menjadi baik. Siapa pun yang tidak introspeksi diri, maka penyesalan akan terus ada dalam dirinya, dan ia akan berdiri lama di padang mahsyar.  

Keempat, Muhasabah akan menghadirkan ketenangan bathin sekaligus kesehatan hati dan mental karena melalui Musahabah setiap muslim/muslimah sesungguhnya senantiasa mendekatkan jarak dirinya dengan Allah SWT, sumber segala ketenangan, ketentraman dan kedamaian bathiniyah.  

Terakhir, oleh sebab setiap orang adalah bagian dari entitas sosial, maka Muhasabah juga dengan sendirinya akan memberi energi dan pengaruh positif terhadap lingkungan kehidupan sosial. Muhasabah yang dilakukan setiap individu muslim akan melahirkan perbaikan kualitas interaksi dan tata pergaulan sosial (hablun minannas) dari waktu ke waktu.

Wallahu a'lam Bishawab.

Artikel terkait: https://www.kompasiana.com/www.tisna_1965.com/661bc87ade948f29557250b2/halal-bihalal-dan-relaksasi-politik

Artikel terkait: https://www.kompasiana.com/www.tisna_1965.com/6618b07dc57afb21ae29b6b2/merawat-kesinambungan-spirit-ramadan

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ramadan Selengkapnya
Lihat Ramadan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun