Mohon tunggu...
Agus Sutisna
Agus Sutisna Mohon Tunggu... Dosen - Lecturer I Researcher IInstagram : @kiagussutisna

Dosen | Pegiat Sosial | Menulis berharap ridho Allah dan manfaat bagi sesama I Nominee Kompasiana Award 2024 - Best in Opinion

Selanjutnya

Tutup

Sosok Pilihan

Semiotika dan Kontekstualitas Quotes Anies dalam Debat Pamungkas

7 Februari 2024   11:05 Diperbarui: 10 Februari 2024   13:08 488
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
www.mediaindonesia.com

Dalam debat Pilpres pamungkas minggu malam kemarin, selain membuka paparan dengan suatu isyarat perubahan, Anies Baswedan juga menggunakan beberapa kutipan (quotes) dalam narasi pembuka dan closing statement-nya. Kutipan-kutipan itu tentu digunakan Anies bukan sekedar pemanis, melainkan pastinya dengan tujuan tertentu.

Dari perspektif semiotika dan kontekstualitas, setidaknya ada 3 (tiga) tujuan yang bisa dibaca dari penggunaan kutipan-kutipan tersebut.

Pertama, untuk menggambarkan fenomena yang terjadi dengan bobot artikulasi yang tinggi. Kedua, untuk memberikan penekanan pentingnya suatu fenomena mendapat perhatian publik. Ketiga, dimaksudkan sebagai isyarat komitmen kuat bagaimana suatu fenomena direspon dan disikapi.   

Saya mencatat, sedikitnya 4 (empat) kutipan menarik yang digunakan Anies. Yakni satu pepetah Jawa dan Sunda pada narasi penyampaian visi-misi, kemudian satu pepatah Jawa dan satu ayat Al Quran, Surat Ali Imron ayat 26 pada narasi closing statement.

It's Time for Change

Pada sesi pembuka, sesi pemaparan visi-misi, Anies mengawali dengan gerak tangan kanan menunjuk jam di lingkar lengan kirinya lalu memutar kedua belah telapak tanggannya. Secara semiotik ini adalah isyarat perubahan, tagline yang diusung Paslon AMIN sejak awal.

Selain memuat pesan "its time for change", waktunya perubahan  secara umum, melalui bahasa isyarat itu Anies juga bermaksud mengirim pesan perihal pentingnya mengudah cara pandang terhadap kelompok disabilitas. Seperti diungkapkannya dalam acara Desak Anies di Semarang, "Kita juga ingin mengirimkan pesan, sudah saatnya kita berubah dalam memandang teman-teman disabilitas." (Kompas.Com, 5/2).

Salah satu bentuk perubahan cara pandang itu adalah dengan melihat disabilitas itu bukan sebagai kelompok masyarakat yang membutuhkan charity, bantuan amal. Melainkan sebagai kelompok masyarakat yang hak asasinya harus dipenuhi oleh negara."

Baca juga yuk :  https://www.kompasiana.com/www.tisna_1965.com/65c0859a12d50f03c67c6fa2/janji-anies-menghadirkan-negara-welas-asih

Sopo Wani Rekoso, Bakal Gayuh Mulyo

Selanjutnya, masih pada sesi pemaparan visi-misi, Anies mengutip sebuah pepatah Jawa, "Sopo Wani Rekoso, Bakal Gayuh Mulyo". Siapa saja yang bersungguh-sungguh dalam usahanya pasti akan meraih kemuliaan.

Kutipan tersebut diungkapkan Anies setelah membeberkan berbagai fenomena ketimpangan dan ketidakdilan dalam masyarakat. Suatu kondisi yang mengakibatkan penyempitan kesempatan bagi sebagian besar warga, sementara sebaliknya, memberikan perluasan kesempatan bagi sebagian kecil orang.

Jadi, dari sisi kontekstualitas fenomena yang berlangsung, pepatah itu merupakan pesan agar ketimpangan diakhiri, ketidakadilan disudahi, dan kesetaraan kesempatan dibuka seluas-luasnya bagi seluruh rakyat. Karena meski pepatah itu mendalilkan "sopo wani rekso, bakal gayuh mulyo", jika kesempatannya tidak ada maka menjadi percuma, hanya akan melahirkan frustasi sosial di dalam masyarakat.

Ngadek Sacekna, Nilas Saplasna

Masih dalam satu nafas pesan pembuka, Anies kemudian mengutip pepatah Sunda "Ngadek Sacekna Nilas Saplasna." Frasa ini merupakan pepeling agar setiap manusia menjaga konsistensi antara ucapan dan perbuatan, menjunjung tinggi kejujuran dan kearifan dalam laku lampah hidupnya.

Pepeling itu diungkapkan Anies masih dalam konteks fenomena ketimpangan dan ketidakadilan dalam masyarakat. Terhadap situasi ini Anies berkomitmen, "...ketika kami menjalankan amanat, maka kami akan memegang prinsip Ngadek Sacekna Nilas Saplasna, konsistensi ucapan dan perbuatan, menjunjung kejujuran dan kearifan. Ini komitmen kami, fokus pada pembangunan manusia Indonesia, menghadirkan kesetaraan, menghadirkan keadilan."

Dari sisi semiotika dan konteks fenomenologis dimana Anies menggunakan pepatah itu, bisa dimaknai bahwa selama ini para pemegang amanat kepemimpinan bertingkah inkonsisten, jauh dari integritas. Khususnya ketika bicara soal kesetaraan dan keadilan dalam masyarakat.

Pagi kedelai, sore tempe. Berbusa-busa bicara soal kesetaraan, yang marak justru pemberian konsesi dan kemudahan-kemudahan fasilitatif pada segelintir oligarkh sambil merawat kemiskinan rakyat dengan Bansos dan bentuk-bentuk charity lainnya. Pagi kedelai sore tempe. Kemarin bicara fulan, hari ini ngomong fulin. Inkonsistensi akut.

Baca juga yuk : https://www.kompasiana.com/www.tisna_1965.com/65be43cd12d50f287858b934/anies-baswedan-dan-potensi-kepemimpinan-profetik

Al Quran Surat Ali Imron : 26

Pada bagian closing statement, Anies mengutip Al Quran, "Qulillhumma mlikal-mulki tu'til-mulka man tasy'u wa tanzi'ul-mulka mim man tasy'u...." Artinya: "Katakanlah (Muhammad), Wahai Allah, Pemilik kekuasaan, Engkau berikan kekuasaan kepada siapa pun yang Engkau kehendaki dan Engkau cabut kekuasaan dari siapa yang Engkau kehendaki..."

Penggalan ayat ke-25 Surat Ali Imran itu dibacakan Anies setelah menggambarkan fenomena menderasnya arus keinginan dan semangat perubahan dalam masyarakat. Masyarakat ingin Indonesia yang lebih baik, Indonesia yang lebih adil. Dan ini sejalan dengan pesan Tuhan yang menghendaki kekuasaan yang welas asih, yang cinta kasih.

Jika dibaca relasi kontekstualitas antara penggalan ayat Al Quran dan fenomena yang digambarkannya, Anies ingin menyampaikan pesan, bahwa selama ini kekuasaan belum bisa menghadirkan keadilan dan membuat negeri ini dalam kondisi baik. Kekuasaan serupa ini harus disudahi.

Dan Anies yakin, sangatlah mudah bagi Tuhan untuk menyudahi kekuasaan serupa ini dengan mencabutnya dari siapapun yang dikehendaki-Nya, dan memberikan kepada siapapun yang dikehendaki-Nya.

Suro Diro Jayaningrat Lebur Dening Pangastuti

Menjelang akhir narasi penutupnya, Anies kemudian mengutip pepatah Jawa, "Suro Diro Jayaningrat Lebur Dening Pangastuti". Bahwa segala hal angkara murka akan kalah oleh kebaikan.

Pepatah itu dikemukakan Anies masih dalam rangkaian penggambaran kekuasaan yang membiarkan ketimpangan dan ketidakadilan. Bahkan dirinya melihat ada kelompok yang menolak semangat perubahan, semangat menghadirkan keadilan. Mereka hidup dari ketimpangan, merasakan nikmatnya kekuasaan justru dari ketimpangan ini.

Terhadap fakta-fakta fenomenologis itu, Anies berjanji dan bertekad akan melawannya. Tetapi tidak dengan kebencian, tidak dengan ketidaksukaan. Melainkan dengan spirit "Suro Diro Jayaningrat Lebur Dening Pangastuti". Bahwa segala hal angkara murka akan kalah oleh kebaikan.

Melalui ungkapan pepatah Jawa itu, Anies nampaknya juga sekaligus ingin menyampaikan "pesan tambahan", sebuah satire perihal kecenderungan kekuasaan yang selama ini lebih mengedepankan aura kebencian dan watak ketidaksukaan terhadap pihak-pihak yang berusaha kritis dalam menyikapi berbagai persoalan yang dihadapi bangsa ini. Wallahu'alam.  

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosok Selengkapnya
Lihat Sosok Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun