Mohon tunggu...
Agus Sutisna
Agus Sutisna Mohon Tunggu... Dosen - Lecturer I Researcher IInstagram : @kiagussutisna

Dosen | Pegiat Sosial | Menulis berharap ridho Allah dan manfaat bagi sesama I Nominee Kompasiana Award 2024 - Best in Opinion

Selanjutnya

Tutup

Cerita Pemilih Artikel Utama

KPPS dan Ikhtiar Mewujudkan Pemilu Berintegritas

28 Desember 2023   10:59 Diperbarui: 28 Desember 2023   14:49 395
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sejumlah pendaftar calon anggota KPPS Pemilu 2024 mengikuti tes kesehatan gratis di Kantor Kecamatan Sukorejo, Kota Blitar, 2023.(Tribun Jatim Network/Samsul Hadi)

Kabar dari berbagai daerah bahwa proses pendaftaran petugas Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS) kurang peminat penting menjadi perhatian semua pihak mengingat peran dan tugas strategis KPPS sebagai ujung tombak pelaksanaan Pemilu.

Kurangnya minat warga masyarakat di desa dan kelurahan untuk menjadi petugas badan adhoc ini selain secara teknis bisa mengganggu tahapan pelaksanaan pemilu yang sudah terjadwal dengan ketat. Secara substantif juga bisa berdampak kurang sehat terhadap semangat mewujudkan Pemilu yang berintegritas dan jurdil.

Mengapa demikian? 

Mari kita periksa regulasi yang mengatur proses rekrutmen badan adhoc Pemilu, khususnya KPPS. Sekaligus coba kita analisis fenomena kurangnya minat warga untuk mendaftar dan dampak potensial yang bisa ditimbulkannya di belakang hari.

Proses Rekrutmen

Proses rekrutmen anggota KPPS diatur secara teknis dalam Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) Nomor 8 Tahun 2022 tentang Pembentukan dan Tata Kerja Badan Adhoc Penyelenggara Pemilu, Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Pemilihan Bupati dan Wakil Bupati, dan Pemilihan Wali Kota dan Wakil Wali Kota. 

Di dalam Pasal 40 ayat (3) PKPU tersebut diatur, bahwa "Seleksi penerimaan anggota KPPS dilaksanakan secara terbuka dengan memperhatikan kompetensi, kapasitas, integritas, dan kemandirian calon anggota KPPS". 

Frasa "dilaksanakan secara terbuka" dalam norma itu maknanya, bukan saja proses seleksi itu dipublikasikan kepada khalayak, tetapi juga dilaksanakan oleh PPS (mewakili KPU Kabupaten/Kota) secara transparan, berintegritas dan akuntabel. Artinya proses seleksi dilakukan dengan serius untuk menghasilkan kandidat-kandidat KPPS terbaik.

Kriteria "kandidat terbaik" itu setidaknya diukur dengan 4 (empat) parameter fit and proper. Yakni kompetensi dan kapasitas berkenaan dengan kelayakan/kecakapan (teknikalitas manajemen dan pengadministrasian pemungutan dan penghitungan suara) serta integritas dan kemandirian berkenaan dengan kepantasan/kepatutan (sikap moral dan keadaban sebagai bagian dari penyelenggara Pemilu yang wajib netral dan independen).

Seserius itukah? 

Memang. Karena KPPS merupakan ujung tombak di mana suara-suara pemilih dihimpun dan dikelola pada tahap pertama. Pengelolaan suara-suara pemilih di tahap pertama ini akan menentukan perolehan hasil peserta Pemilu pada jenjang rekapitulasi suara di atasnya: di tingkat kecamatan, kabupaten dan kota, provinsi hingga tingkat nasional.

Dengan demikian, pengelolaan yang buruk, tidak berintegritas dan jauh dari akuntabel (baik yang disebabkan oleh karena rendahnya kompetensi dan kapasitas maupun karena rendahnya sikap moral dan keadaban para anggota KPPS) akan mengarus ke atas dan berdampak buruk pada jenjang penghitungan dan rekapitulasi di atasnya. Suara-suara pemilih bisa terdistorsi demikian rupa.

Atau, bahkan dengan sengaja suara-suara itu dimanipulasi. Sehingga apa yang secara sinisme diungkapkan Joseph Stalin terjadi, bahwa: "Orang-orang yang memberikan suara tidaklah menentukan hasil dari pemilu. Namun orang-orang yang menghitung suara itulah yang menentukan hasil dari pemilu". Kemungkinan-kemungkinan ini bisa terjadi oleh sebab anggota KPPS yang tidak layak dan tidak pantas, tidak cakap, dan tidak patut.

Potensi Tak Sehat Penunjukan

Kembali ke soal kurangnya minat warga mendaftar sebagai anggota KPPS. Dalam PKPU yang sama, pada pasal 41 diatur sebagai berikut. Bahwa "Dalam hal seleksi terbuka tidak terdapat masyarakat di wilayah kerja KPPS yang mendaftar, PPS dapat melakukan penunjukan terhadap masyarakat di wilayah kerja KPPS yang memenuhi syarat untuk ditetapkan sebagai KPPS" (ayat 2).

Kemudian dalam ayat 3 Pasal 41 diatur, bahwa "Dalam hal PPS tidak mendapatkan masyarakat di wilayah kerja KPPS yang memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), KPU Kabupaten/Kota dapat bekerja sama dengan lembaga pendidikan, lembaga profesi, lembaga swadaya masyarakat, komunitas peduli Pemilu dan demokrasi dan/atau tenaga pendidik untuk mendapatkan anggota KPPS yang memenuhi persyaratan."

Untuk memenuhi kebutuhan aspek teknis, norma kedua ayat dalam Pasal 41 tersebut memang efektif sebagai solusi menyikapi rendahnya minat warga menjadi KPPS karena tahapan pemilu sudah terjadwal secara ketat. Artinya, jika tidak dilakukan terobosan dengan cara demikian, maka akan terjadi keterlambatan pembentukan KPPS, dan ini akan berdampak pada tahapan berikutnya.

Akan tetapi penting untuk menjadi perhatian para pihak, baik peserta maupun pemilih tentu saja sebagai pemilik kedaulatan suara. Bahwa mekanisme penunjukan anggota KPPS yang demikian itu juga potensial bisa melahirkan dampak kurang sehat terhadap aspek substansi elektoral, setidaknya karena dua alasan berikut.

Pertama, mekanisme penunjukan itu akan mengurangi bobot proses sekaligus bobot kualitas para anggota KPPS yang direkrut. Kriteria dasar yang dijelaskan tadi, bahwa anggota KPPS mestilah merupakan warga masyarakat dengan kompetensi, kapasitas, integritas, dan kemandirian yang memadai bisa tidak terpenuhi.

Kedua, mekanisme penunjukan ini pada dasarnya serupa dengan mobilisasi. Ketika mobilisasi dilakukan dengan cara yang tetap terbuka serta mengedepankan prinsip-prinsip meritokrasi dan mempertimbangkan dengan ketat aspek integritas (sikap moral, keadaban, dan netralitas) para calon KPPS tentu tidak masalah.

Tetapi akan menjadi persoalan besar ketika penunjukan dilakukan dengan cara gegabah, asal tunjuk yang penting kuota terpenuhi. Lebih bahaya lagi jika dalam proses penunjukan ini PPS atau bahkan KPU Kabupaten/Kota "membuka peluang" kolutif dengan peserta Pemilu termasuk para caleg, tim pemenangan atau kader-kader partai militan yang keanggotaan mereka banyak saling beririsan dengan keanggotaan di LSM, lembaga pendidikan atau lembaga profesi yang terafiliasi dengan paslon capres-cawapres atau partai politik.

Tentu saja, ini memang baru potensi. Tetapi untuk benar-benar mewujudkan pemilu yang luber dan jurdil, pemilu yang berintegritas, pemilu yang proses dan hasilnya dapat dipercaya publik, setiap celah yang bisa merusak proses dan hasil pemilu penting untuk terus disuarakan, sedini mungkin sesering mungkin.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerita Pemilih Selengkapnya
Lihat Cerita Pemilih Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun