Memang. Karena KPPS merupakan ujung tombak di mana suara-suara pemilih dihimpun dan dikelola pada tahap pertama. Pengelolaan suara-suara pemilih di tahap pertama ini akan menentukan perolehan hasil peserta Pemilu pada jenjang rekapitulasi suara di atasnya: di tingkat kecamatan, kabupaten dan kota, provinsi hingga tingkat nasional.
Dengan demikian, pengelolaan yang buruk, tidak berintegritas dan jauh dari akuntabel (baik yang disebabkan oleh karena rendahnya kompetensi dan kapasitas maupun karena rendahnya sikap moral dan keadaban para anggota KPPS) akan mengarus ke atas dan berdampak buruk pada jenjang penghitungan dan rekapitulasi di atasnya. Suara-suara pemilih bisa terdistorsi demikian rupa.
Atau, bahkan dengan sengaja suara-suara itu dimanipulasi. Sehingga apa yang secara sinisme diungkapkan Joseph Stalin terjadi, bahwa: "Orang-orang yang memberikan suara tidaklah menentukan hasil dari pemilu. Namun orang-orang yang menghitung suara itulah yang menentukan hasil dari pemilu". Kemungkinan-kemungkinan ini bisa terjadi oleh sebab anggota KPPS yang tidak layak dan tidak pantas, tidak cakap, dan tidak patut.
Potensi Tak Sehat Penunjukan
Kembali ke soal kurangnya minat warga mendaftar sebagai anggota KPPS. Dalam PKPU yang sama, pada pasal 41 diatur sebagai berikut. Bahwa "Dalam hal seleksi terbuka tidak terdapat masyarakat di wilayah kerja KPPS yang mendaftar, PPS dapat melakukan penunjukan terhadap masyarakat di wilayah kerja KPPS yang memenuhi syarat untuk ditetapkan sebagai KPPS" (ayat 2).
Kemudian dalam ayat 3 Pasal 41 diatur, bahwa "Dalam hal PPS tidak mendapatkan masyarakat di wilayah kerja KPPS yang memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), KPU Kabupaten/Kota dapat bekerja sama dengan lembaga pendidikan, lembaga profesi, lembaga swadaya masyarakat, komunitas peduli Pemilu dan demokrasi dan/atau tenaga pendidik untuk mendapatkan anggota KPPS yang memenuhi persyaratan."
Untuk memenuhi kebutuhan aspek teknis, norma kedua ayat dalam Pasal 41 tersebut memang efektif sebagai solusi menyikapi rendahnya minat warga menjadi KPPS karena tahapan pemilu sudah terjadwal secara ketat. Artinya, jika tidak dilakukan terobosan dengan cara demikian, maka akan terjadi keterlambatan pembentukan KPPS, dan ini akan berdampak pada tahapan berikutnya.
Akan tetapi penting untuk menjadi perhatian para pihak, baik peserta maupun pemilih tentu saja sebagai pemilik kedaulatan suara. Bahwa mekanisme penunjukan anggota KPPS yang demikian itu juga potensial bisa melahirkan dampak kurang sehat terhadap aspek substansi elektoral, setidaknya karena dua alasan berikut.
Pertama, mekanisme penunjukan itu akan mengurangi bobot proses sekaligus bobot kualitas para anggota KPPS yang direkrut. Kriteria dasar yang dijelaskan tadi, bahwa anggota KPPS mestilah merupakan warga masyarakat dengan kompetensi, kapasitas, integritas, dan kemandirian yang memadai bisa tidak terpenuhi.
Kedua, mekanisme penunjukan ini pada dasarnya serupa dengan mobilisasi. Ketika mobilisasi dilakukan dengan cara yang tetap terbuka serta mengedepankan prinsip-prinsip meritokrasi dan mempertimbangkan dengan ketat aspek integritas (sikap moral, keadaban, dan netralitas) para calon KPPS tentu tidak masalah.
Tetapi akan menjadi persoalan besar ketika penunjukan dilakukan dengan cara gegabah, asal tunjuk yang penting kuota terpenuhi. Lebih bahaya lagi jika dalam proses penunjukan ini PPS atau bahkan KPU Kabupaten/Kota "membuka peluang" kolutif dengan peserta Pemilu termasuk para caleg, tim pemenangan atau kader-kader partai militan yang keanggotaan mereka banyak saling beririsan dengan keanggotaan di LSM, lembaga pendidikan atau lembaga profesi yang terafiliasi dengan paslon capres-cawapres atau partai politik.