Pada sesi debat yang susungguhnya, baik pada saat ditanya maupun kala ia mendapat giliran bertanya, performa Anies juga kelihatan lebih tenang dan matang, dalam sisi ini mungkin setara dengan Ganjar.
Tetapi dibanding Ganjar maupun Prabowo, cara Anies merespon jawaban atas setiap pertanyaan jauh lebih ngonek denga isi pertanyaan, lebih runut dan sistematis dalam mengurai, lugas tapi tetap santun dalam mengkritik balik, serta tuntas dalam memberi solusi.
Anies, seperti yang kerap disindir para hatersnya atau sebaliknya, menjadi kebanggan para pendukungnya, memang piawai dalam olah kata, menyusun kalimat dan meramu paragraf menjadi sajian narasi yang memikat. Perhatikan misalanya bagaimana cara Anies menjelaskan soal IKN ketika menjawab pertanyaan Ganjar.
"Kalau ada masalah jangan ditinggalkan, diselesaikan. Itu filosofi nomor satu..." ujar Anies membuka sikapnya soal pembangunan IKN. "Kami melihat ada kebutuhan-kebutuhan urgen yang dibangun untuk rakyat, kalau hari ini kita belum bisa menyiapkan pupuk lengkap tapi pada saat yang sama kita membangun sebuah istana untk Presiden, dimana rasa keadilan kita," pungkasnya mengakhiri debat dengan Ganjar.
Atau coba diputar ulang bagaimana Anies menyerang balik Prabowo soal demokrasi dan oposisi.
"...Beliau sendiri menyampaikan bahwa tidak berada dalam kekuasaan membuat tidak bisa berbisnis, tidak bisa berusaha, karena itu harus berada dalam kekuasaan. Kekuasaan lebih dari soal bisnis, kekuasaan lebih dari soal uang. Kekuasaan adalah soal kehormatan untk menjalankan kedaulatan rakyat.".Â
Dalam debat sesi pertama ini, saya melihat Anies memang banyak memberikan catatan kritis seputar penyelenggaraan kekuasaan yang dinilainya makin melenceng dari prinsip-prinsip dasar demokrasi. Belakangan kekuasaan itu bahkan cenderung mengendalikan hukum, dan bukan sebaliknya dimana seharunsya hukum yang menjadi pengendali atas operasi kekuasaan.
Implikasi dari model kekuasaan yang demikian itu memang berdampak buruk pada kehidupan demokrasi, yang salah satunya adalah menyempitnya ruang kebebasan berbicara dan berekspresi. Dalam konteks inilah, seperti kerap diungkapkan Anies dalam beberapa kesempatan sebelum debat, kemudian lahir metafor-metafor satir "Negeri Wakanda dan Konoha".
Orang ingin mengkritik, publik ingin menyoal kebijakan yang tak memihak rakyat, tetapi takut terdampak represi negara. Maka solusinya adalah menciptakan negeri fiksi, republik imajiner bernama Wakanda dan Konoha, semata-mata agar terhindar dari represi negara.
Terhadap situasi itulah, di akhir debat semalam Anies menjanjikan perubahan: Wakanda No More, Indonesia Forever!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H