Mohon tunggu...
Agus Sutisna
Agus Sutisna Mohon Tunggu... Dosen - Lecturer I Researcher IInstagram : @kiagussutisna

Dosen | Pegiat Sosial | Menulis berharap ridho Allah dan manfaat bagi sesama.

Selanjutnya

Tutup

Analisis Artikel Utama

Wakanda No More, Indonesia Forever

13 Desember 2023   13:27 Diperbarui: 14 Desember 2023   18:25 570
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Debat Capres sesi pertama keren. Apresiasi pantas disampaikan kepada KPU, karena telah berhasil melewati satu tantangan yang nyaris blunder kemarin-kemarin. Seperti kita tahu, sebelumnya beredar kabar bahwa KPU akan mengubah format debat dengan meniadakan sesi debat untuk Cawapres. Sekarang clear, masing-masing capres dan cawapres diberi sesi sendiri-sendiri, dan sesi itu sudah dimulai.

Sebagaimana harapan publik, debat benar-benar diwarnai kontestasi gagasan yang memikat dari para capres. Pada sesi sanggah menyanggah sejumlah isu sensitif bahkan mengemuka. Mulai dari isu pelanggaran berat etik dalam proses kandidasi yang sempat mencoreng marwah Mahkamah Konstitusi (MK), penyelesaian kasus-kasus Hak Asasi Manusia (HAM), pembangunan Ibu Kota Negara (IKN), hingga isu menurunnya indeks demokrasi dan ancaman kebebasan berbicara.

Gimik, sisi yang dikhawatirkan publik bakal menjadi strategi para capres memikat pemilih dalam debat tidak muncul. Kecuali beberapa kali diperagakan Prabowo melalui joget khasnya. Tetapi ini pun nampaknya bersifat spontan atau lebih ke ekspresi upaya menetralisir diri dari serangan lawan-lawan debatnya. Atau, boleh jadi juga kebiasaan yang kadung tumbuh pada sosok mantan Danjen Kopasus itu.

Capres Prabowo memang mendapatkan serangan lumayan telak, baik dari Anies maupun Ganjar. Serangan itu masuk melalui isu pelanggaran etik Ketua MK, Anwar Usman dan kasus-kasus pelanggaran HAM di Papua, serta sejumlah kasus pelanggaran HAM yang diduga pernah melibatkan dirinya di era orde baru silam.

Posisi dan Performa Capres 

Meski tidak cukup komprehensif menguraikan muatan visi-misi masing-masing sesuai tema-tema besar. Ketiga capres saya kira sudah berhasil menunjukkan bagimana posisinya saat ini, bagaimana mereka melihat dan memetakan esksisting  isu-isu strategis yang dihadapi saat ini, serta bagaimana dan dengan strategi apa mereka akan menyelesaikan ragam problematika kebangsaan itu.

Dan dari dinamika debat itu saya kira publik dengan mudah dapat membaca dua aspek penting dari ketiga capres, yakni posisi politik elektoral dan performa masing-masing. Kedua aspek ini penting sebagai bahan pertimbangan bagi pemilih dalam mengambil keputusan perihal siapa diantara mereka yang akan dipilih nanti 14 Februari 2024.

Posisi politik elektoral yang dimaksud adalah pilihan sikap terhadap eksisting dan performa pemerintahan saat ini yang bakal mereka gantikan melalui Pemilu. Terutama  berkenanaan dengan model penyelenggaraan kekuasaan dan garis-garis kebijakan politik kemarin, saat ini dan proyeksi ke depan.

Sementara sisi performa Capres tidak lain adalah penampilan mereka saat debat (dan tentu saja debat-debat berikutnya nanti). Mulai dari empat menit pertama penyampaian visi-misi, sesi menjawab pertanyaan-pertanyaan tertutup dari panelis, sesi sanggah-menyanggah, hingga ke closing statement. Mari kita periksa satu persatu.       

Prabowo, Jokowian tapi Reaksioner dan Emosional

Sebagaimana sudah sering diucapkan dan diperagakan sejak awal, sejak tahapan Pemilu belum dimulai bahkan. Posisi politik elektoral Prabowo fix bakal melanjutkan semua garis kebijakan pemerintahan Jokowi. Implikasi dari pilihan sikap ini, saya tidak melihat gagasan-gagasan yang otentik dari Prabowo, kecuali program bagi-bagi susu dan makan siang gratis.

Demikian kentalnya pilihan sikap ini, dalam debat Prabowo sampai berkali-kali menyebut nama Jokowi (tentu dalam konteks positif dan prestatif) dalam upaya meyakinkan publik tentang tawaran-tawaran programnya yang tadi itu jadinya: cenderung serba duplikatif.

Implikasi lain dari pilihan sikap itu adalah terselubunginya berbagai praktik buruk penyelenggaraan kekuasaan pemerintahan di era Jokowi dari pandangan jernih dan obyektif Prabowo. Mulai isu dominasi oligarkh dalam bidang ekonomi, menyempitnya ruang kebebasan berbicara, konsolidasi demokrasi yang tersendat, penegakan hukum yang tumpul ke atas dan tajam ke bawah, praktik-praktik ordal (orang dalam) dalam banyak lini profesi yang sekaligus menjadi isyarat bangkitnya kembali praktik Nepotisme, Kolusi dan Korupsi (NKK) orde baru, dan lagi-lagi penyelesaian tuntas kasus-kasus pelanggaran HAM.

Dalam debat, keterselubungan persoalan-persoalan strategis yang membutuhkan penyikapan tegas, lugas dn tuntas itu beberapa diantaranya terkonfirmasi dari cara Prabowo merespon Anies maupun Ganjar, atau kala ia balik bertanya dan menyanggah lawan debatnya. Alih-alih merespon dengan jawaban yang jelas dan dan tuntas, Prabowo justru nampak reaksioner, bahkan sesekali emosinya bangkit.

Fakta tersebut misalnya muncul ketika Ganjar menanyakan penyelesaian isu pelanggaran HAM dan kasus putusan MK yang kontroversial. Performa reaktif dan emosional juga nampak ketika Anies menyoal isu putusan MK dengan sudut pandang yang berbeda, yakni sisi pelanggaran berat etik yang menyertainya. Dan ketika Anies mengkritik soal demokrasi, kebebasan berbicara dan hakikat terhormat kedudukan kelompok oposisi dalam demokrasi, dimana Prabowo justru pernah menyerah dan berbalik menjadi bagian dari pemerintahan Jokowi.

Ganjar, Kalem dan Ikhtiar Obyektif

Berbeda jauh dengan Prabowo yang tampil reaktif dan beberapa kali mengumbar emosi. Ganjar tampil kalem meski beberapa kali disoal Prabowo maupun Anies melalui beberapa isu saat ia menjabat Gubernur Jateng. Misalnya kasus kelangkaan pupuk dan tragedi Kanjuruhan yang hingga kini dianggap tak tuntas penyelesaiannya.

Selain urusan performa yang relatif nampak lebih matang dan tenang, sisi menarik dari Ganjar adalah soal pilihan sikap politik elektoralnya. Dalam konteks ini saya melihat Ganjar berusaha obyektif. Ia tak tabu menyoal sisi lemah pemerintahan Jokowi, tetapi juga tak harus menyembunyikan kebijakan-kebijakan Jokowi yang menurut pandangannya bagus.

Maka soal penegakan hukum, terutama terhadap kasus-kasus korupsi oleh para penyelenggara negara dan penyelesaian berbagai kasus pelanggaran HAM yang tak tuntas dikritiknya dengan lugas. Tetapi soal IKN, meski tidak secara eksplisit, Ganjar mengendors kebijakan Jokowi. Ia bahkan sempat mempertanyakan dan berdebat secara cerdas dengan Anies yang dalam beberapa kesempatan sebelum debat kerap mengkritik tajam program pembangunan IKN.

Anies, Wakanda No More Indonesia Forever 

Dalam debat, dari ketiga Capres, saya kira Anies tampil paling beda. Dan pembedanya komplit. Berbeda dengan Ganjar maupun Prabowo, dalam penyampaian visi-misi empat menit pertama pembuka debat, Anies tampil jauh lebih baik. Dengan durasi yang hanya empat menit, ia lebih utuh menyampaikan muatan visi-misi sesuai tema. Jadi tak sekedar orasi, menggebu tapi tak berisi.

Pada sesi debat yang susungguhnya, baik pada saat ditanya maupun kala ia mendapat giliran bertanya, performa Anies juga kelihatan lebih tenang dan matang, dalam sisi ini mungkin setara dengan Ganjar.

Tetapi dibanding Ganjar maupun Prabowo, cara Anies merespon jawaban atas setiap pertanyaan jauh lebih ngonek denga isi pertanyaan, lebih runut dan sistematis dalam mengurai, lugas tapi tetap santun dalam mengkritik balik, serta tuntas dalam memberi solusi.

Anies, seperti yang kerap disindir para hatersnya atau sebaliknya, menjadi kebanggan para pendukungnya, memang piawai dalam olah kata, menyusun kalimat dan meramu paragraf menjadi sajian narasi yang memikat. Perhatikan misalanya bagaimana cara Anies menjelaskan soal IKN ketika menjawab pertanyaan Ganjar.

"Kalau ada masalah jangan ditinggalkan, diselesaikan. Itu filosofi nomor satu..." ujar Anies membuka sikapnya soal pembangunan IKN. "Kami melihat ada kebutuhan-kebutuhan urgen yang dibangun untuk rakyat, kalau hari ini kita belum bisa menyiapkan pupuk lengkap tapi pada saat yang sama kita membangun sebuah istana untk Presiden, dimana rasa keadilan kita," pungkasnya mengakhiri debat dengan Ganjar.

Atau coba diputar ulang bagaimana Anies menyerang balik Prabowo soal demokrasi dan oposisi.

"...Beliau sendiri menyampaikan bahwa tidak berada dalam kekuasaan membuat tidak bisa berbisnis, tidak bisa berusaha, karena itu harus berada dalam kekuasaan. Kekuasaan lebih dari soal bisnis, kekuasaan lebih dari soal uang. Kekuasaan adalah soal kehormatan untk menjalankan kedaulatan rakyat.". 

Dalam debat sesi pertama ini, saya melihat Anies memang banyak memberikan catatan kritis seputar penyelenggaraan kekuasaan yang dinilainya makin melenceng dari prinsip-prinsip dasar demokrasi. Belakangan kekuasaan itu bahkan cenderung mengendalikan hukum, dan bukan sebaliknya dimana seharunsya hukum yang menjadi pengendali atas operasi kekuasaan.

Implikasi dari model kekuasaan yang demikian itu memang berdampak buruk pada kehidupan demokrasi, yang salah satunya adalah menyempitnya ruang kebebasan berbicara dan berekspresi. Dalam konteks inilah, seperti kerap diungkapkan Anies dalam beberapa kesempatan sebelum debat, kemudian lahir metafor-metafor satir "Negeri Wakanda dan Konoha".

Orang ingin mengkritik, publik ingin menyoal kebijakan yang tak memihak rakyat, tetapi takut terdampak represi negara. Maka solusinya adalah menciptakan negeri fiksi, republik imajiner bernama Wakanda dan Konoha, semata-mata agar terhindar dari represi negara.

Terhadap situasi itulah, di akhir debat semalam Anies menjanjikan perubahan: Wakanda No More, Indonesia Forever!

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun