Mohon tunggu...
Agus Sutisna
Agus Sutisna Mohon Tunggu... Dosen - Lecturer I Researcher IInstagram : @kiagussutisna

Dosen | Pegiat Sosial | Menulis berharap ridho Allah dan manfaat bagi sesama I Nominee Kompasiana Award 2024 - Best in Opinion

Selanjutnya

Tutup

Analisis Pilihan

Pesan Moral di Balik Kemarahan Megawati

30 November 2023   15:59 Diperbarui: 30 November 2023   16:40 627
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Bayangkan, kok saya tidak seperti dihormati ya, lho kenapa? Lho saya jelek-jelek pernah presiden lho dan masih diakui dengan nama Presiden ke-5 Republik Indonesia," ujar Megawati.

Siapa orang yang dimaksud dalam narasi itu saya kira publik sudah mafhum. Ungkapan kekesalan itu pastilah ditujukan secara khusus kepada Presiden Jokowi, orang yang telah "difasilitasinya" secara politik, sejak menjadi Walikota, naik level ke Gubernur dan akhirnya sampai di puncak karir sebagai Presiden.

Kekesalan dan perasaan seperti tidak dihormati itu sebagaimana sudah sering diperbincangkan banyak pihak, nampaknya berkenaan dengan langkah politik elektoral Jokowi yang memberikan dukungan kepada Prabowo dan meninggalkan PDIP dalam kontestasi Pilpres. Padahal sebelumnya sudah sangat gambling, PDIP memutuskan Ganjar sebagai calon Presiden.

Pesan moral sekaligus i'tibar yang dapat diserap dari narasi kekecewaan Megawati dalam konteks ini adalah soal adab dalam berpolitik. Di balik potongan kalimat, "kok saya tidak seperti dihormati ya", Megawati seakan mengingatkan kepada para pihak terkait khususnya, dan mari kita terima sebagai "pelajaran berharga" dari seorang tokoh bangsa, bahwa adab itu, etika dan akhlak itu, penting dalam berpolitik.

Pesan moral jari tangan 

Satu lagi sisi menarik dari pidato Megawati, dalam rangkaian cerita pengalamannya di era orde baru yang telah mendzoliminya, Megawati menyebut kata ganti jamak "bapak-bapak" dalam narasi berikut. 

"Kalau inget itu, eh sekarang mulai lagi, selagi saya masih hidup loh, udah berhenti deh bapak-bapak yang saya sindir, insyaf, berapa sih jumlahnya dibandingin sama rakyat, saya gak manas-manasin loh, ini realitas. Sudahlah gak usah pakai kekerasan". 

Saya yakin, penggunaan sebutan "bapak-bapak" dipilih dengan sadar oleh Megawati. Lantas siapa yang dimaksud "bapak-bapak" yang disindirnya itu? Tentu saja bukan Surya Paloh, Ahmad Syaikhu dan Cak Imin, meski ketiga tokoh ini juga berada di kubu yang berbeda secara politik. Lantas siapa ?

Dugaan saya, siapa lagi jika bukan tokoh-tokoh di poros Koalisi Indonesia Maju (KIM). Di sini, selain ada "Bapak" Prabowo sebagai figur sentralnya, ada "Bapak" Jokowi sebagai King Maker, ada "Bapak" SBY yang bakal turun gunung membantu Prabowo, ada "Bapak" Airlangga Hartato Ketua Golkar sebagai parpol dengan pengalaman paling panjang, dan ada "Bapak" Zulhas Ketua partai bertabur artis, dan beberapa "Bapak" lannya.

Pesan moral dari bagian narasi pidatonya ini adalah, bahwa Megawati seakan hendak mengingatkan kepada "bapak-bapak" itu untuk tidak main-main dengan masakini dan masadepan negara-bangsa. 

Seperti sudah dijelaskan di atas tadi, Megawati melihat ada kecenderungan bahwa kekuasaan saat ini seperti hendak menghadirkan kembali tradisi otoritarianisme orde baru. "...udah berhenti deh bapak-bapak yang saya sindir, insyaf", ujar Megawati tanpa tedeng aling-aling.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun