Mohon tunggu...
Agus Sutisna
Agus Sutisna Mohon Tunggu... Dosen - Lecturer I Researcher IInstagram : @kiagussutisna

Dosen | Pegiat Sosial | Menulis berharap ridho Allah dan manfaat bagi sesama I Nominee Kompasiana Award 2024 - Best in Opinion

Selanjutnya

Tutup

Analisis Pilihan

Kesempatan Kelima Memangkas Jumlah Parpol, Proyeksi Pasca Pemilu 2024

18 November 2023   22:25 Diperbarui: 18 November 2023   22:49 292
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sekira 3 bulan lagi Pemilu serentak digelar. Pemilu 2024 ini akan menjadi kesempatan kelima pasca Indonesia lepas dari kerangkeng rezim otoritarian orde baru untuk menyederhanakan eksisting jumlah partai peserta Pemilu sekaligus sistem kepartaiannya. Karena berbagai alasan yang akan dijelaskan nanti, jumlah partai politik mestinya memang dipangkas, disederhanakan jumlahnya. Dan Pemilu merupakan salah satu mekanisme legal-konstitusional untuk memangkas dan menyederhankan jumlah partai itu.

Sejak lepas dari era otoritarianisme dan masuk ke zaman demokrasi yang sesungguhnya, bangsa ini mengalami surplus jumlah partai politik yang luar biasa. Pemilu 1999 Pemilu diikuti oleh 48 partai politik. Kemudian berturut-turut mengalami fluktuasi, tetapi penurunan jumlahnya tidak pernah sampai di angka maksimal 5 (lima) partai seperti pernah disarankan Michael Coppedge (2012) : 24 partai pada Pemilu 2004, 38 partai pada Pemilu 2009, 12 partai pada Pemilu 2014, 14 partai pada Pemilu 2019, dan kini 18 partai untuk Pemilu 2024. Jumlah ini diluar partai politik lokal Aceh.

Multipartai tak sehat

Secara teoritik, jumlah partai dalam setiap kali Pemilu di era reformasi ini bukanlah jumlah yang ideal. Para ahli menyebut bilangan jumlah sebanyak itu termasuk dalam kategori sistem multipartai ekstrim. Giovani Sartori menyebutnya dengan istilah Polarized Pluralism, sistem multipartai dengan derajat polarisasi yang tinggi. Jumlah (number of parties) yang ideal, yang dalam istilah Sartori disebut Moderate Pluralism ada di kisaran angka 3-5 partai politi  (Coppedge, 2012).

Pemilihan umum dengan sistem multipartai ekstrim yang ditandai oleh jumlah partai politik peserta yang terlalu banyak cenderung melahirkan sejumlah problematika dan dampak politik yang tidak sehat dalam kehidupan kepolitikan suatu negara.

Sebagaimana tampak gejalanya dalam perhelatan pemilihan umum pasca reformasi, problematika itu tampak pada aspek-aspek teknis perencanaan,  penganggaran, manajemen logistik (pengadaan dan distribusi), pengaturan kampanye,  tatakelola administrasi pelaksanaan pemungutan dan penghitungan suara. Bahkan juga pada penyelesaian sengketa dan perselisihan hasil Pemilihan umum di kemudian hari.

Di samping menyangkut aspek teknis penyelenggaraan, pemilihan umum dengan sistem multipartai ekstrim juga berpotensi melahirkan konfigurasi kekuatan politik yang seimbang di parlemen, karena sulitnya melahirkan partai pemenang pemilihan umum dengan perolehan suara yang signifikan untuk membentuk pemerintahan.

Akibatnya, koalisi harus dibentuk untuk membangun blok-blok kekuatan dalam kerangka penyelenggaraan pemerintahan. Dan koalisi yang terbentuk dalam situasi seperti ini cenderung hanya didasarkan pada praktik-praktik transaksional antar partai/fraksi di parlemen.

Problematika yang tidak kalah penting adalah menyangkut relasi parlemen-pemerintah (DPR-Presiden). Pemilihan umum dengan jumlah partai yang terlalu banyak yang berdampak pada tidak adanya partai pemenang pemilihan umum dengan perolehan suara mayoritas yang signifikan, terlebih lagi jika parlemen justru dikuasai oleh partai atau koalisi partai yang berbeda dengan partai atau koalisi partai yang menjadi pendukung presiden terpilih, cenderung mengakibatkan tidak efektifnya pemerintahan presidensial.

Dari sisi pemilih, terutama para pemilih di usia sepuh, jumlah partai yang terlampau banyak juga membawa kesulitan tersendiri dalam pemberian suara di TPS, yang berdampak pada kasus salah coblos dan mengakibatkan banyaknya surat suara yang tidak sah.

Langkah kebijakan penyederhanaan

Bertolak dari fakta-fakta fenomenologis itu, beberapa upaya strategis telah dilakukan untuk menyederhanakan jumlah partai politik yang dengan sendirinya juga akan berimbas pada sistem kepartaian. Dalam kajian Hadar Gumay dkk, setidaknya ada 5 (lima) langkah kebijakan yang pernah ditempuh untuk menyederhanakan sistem kepartaian di Indonesia pasca reformasi.

Pertama, memperberat syarat pendirian partai. Kedua, memperberat syarat parpol memperoleh badan hukum. Ketiga, memperberat syarat parpol untuk ikut Pemilihan umum. Keempat, menerapkan ambang batas bagi parpol untuk dapat mengikuti Pemilihan umum berikutnya (electoral threshold). Kelima, menerapkan ambang batas bagi parpol untuk dapat mengirimkan wakilnya di parlemen (parliament threshold).

Secara umum kelima langkah strategi kebijakan itu berhasil menekan jumlah partai politik sedemikian rupa, baik dalam perhelatan pemilihan umum maupun di parlemen. Meski sekali lagi, jumlah penurunnya bercorak fluktuatif terhitung sejak kebijakan tersebut diimplementasikan pertama kali pada Pemilu 2004.

Tetapi dilihat dari sisi kebutuhan mewujudkan sistem multipartai sederhana yang kompatibel dengan sistem presidensial, pengurangan ini jelas masih jauh dari harapan ideal. Jumlah 9 partai di parlemen sebagai hasil pemilihan umum terakhir 2019 silam misalnya masih merupakan jumlah yang terlampau besar, yang berpotensi melahirkan instabilitas dan inefektifitas penyelenggaraan pemerintahan dengan sistem presidensial.

Parliamentary Threshold dan Pemberatan Persyaratan

Dalam konteks Pemilu 2024, oleh karena sudah memasuki tahapan, dari kelima opsi langkah kebijakan yang pernah dan sebagiannya masih diberlakukan sampai saat ini, tersisa satu opsi yang masih memungkinkan terjadinya penyederhanaan jumlah partai secara alamiah. Yakni ketentuan ambang batas bagi parpol untuk dapat mengirimkan wakilnya di parlemen (parliamentary threshold).

Dalam UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu besaran angka ambang batas itu adalah 4%. Artinya hanya partai politik yang memperoleh suara minimal 4 persen dari total suara sah nasional yang dapat disertakan dalam penghitungan perolehan kursi untuk DPR RI. Partai-partai yang perolehan suaranya di bawah 4 persen dipastikan tidak bisa masuk parlemen. Seleksi alamiah dengan demikian terjadi melalui proses elektoral.

Pertanyaannya sekarang apakah mekanisme Parliamentary Threshold (PT) masih bisa diandalkan untuk menekan jumlah partai yang masuk parlemen dari hasil Pemilu 2024 mendatang ?

Secara teoritik tentu saja bisa diandalkan, dan ini sebetulnya juga sudah terbukti pada Pemilu 2009 (PT 2.5%), Pemilu 2014 (PT 3.5%) dan Pemilu 2019 (PT 4.%). Jumlah partai yang lolos ke parlemen di ketiga Pemilu lebih sedikit dibandingkan dengan jumlah partai peserta Pemilunya.

Belakangan beberapa lembaga survei bahkan sudah merilis hasil sigi mereka dan mengungkapkan bahwa partai yang diprediksi bisa lolos PT dan masuk parlemen ada di kisaran 6 sampai 8 partai politik saja. Sisanya gagal karena perolehan suaranya di bawah 4%.

Jadi mekanisme PT untuk menyederhanakan jumlah partai di parlemen memang masih akan efektif, termasuk nanti berdasarkan hasil Pemilu 2024. Yang selalu jadi masalah dilematis, masalah yang terus berulang dan tak kunjung tuntas adalah ketika setiap kali Pemilu berikutnya akan digelar jumlah partai peserta Pemilu kembali membengkak.

Darimana pembengkakan jumlah partai itu ?  Pertama, tentu saja dari partai-partai yang gagal masuk parlemen yang kembali mendaftar dan lolos sebagai peserta Pemilu. Kedua, dari partai-partai baru yang mendaftar ke KPU dan lolos sebagai peserta Pemilu.

Jika demikian halnya, berarti jumlah partai politik peserta Pemilu memang tidak akan pernah bisa disederhanakan sampai kapanpun. Begitukah ? Tidak juga. Karena jika para elit (Parpol, DPR dan Pemerintah) mau berkehendak baik, masih ada 3 langkah strategis yang bisa diberlakukan lebih serius pasca Pemilu 2024 menuju Pemilu 2029 nanti.

Pertama, perberat syarat pendirian partai politik baru. Kedua perberat syarat pertai politik memperoleh badan hukum. Ketiga perberat syarat partai politik menjadi peserta Pemilu. Besaran ambang batas clear, cukup realistis di angka 4%, dan cukup efektif untuk menekan jumlah partai.

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun