Sekira 3 bulan lagi Pemilu serentak digelar. Pemilu 2024 ini akan menjadi kesempatan kelima pasca Indonesia lepas dari kerangkeng rezim otoritarian orde baru untuk menyederhanakan eksisting jumlah partai peserta Pemilu sekaligus sistem kepartaiannya. Karena berbagai alasan yang akan dijelaskan nanti, jumlah partai politik mestinya memang dipangkas, disederhanakan jumlahnya. Dan Pemilu merupakan salah satu mekanisme legal-konstitusional untuk memangkas dan menyederhankan jumlah partai itu.
Sejak lepas dari era otoritarianisme dan masuk ke zaman demokrasi yang sesungguhnya, bangsa ini mengalami surplus jumlah partai politik yang luar biasa. Pemilu 1999 Pemilu diikuti oleh 48 partai politik. Kemudian berturut-turut mengalami fluktuasi, tetapi penurunan jumlahnya tidak pernah sampai di angka maksimal 5 (lima) partai seperti pernah disarankan Michael Coppedge (2012) : 24 partai pada Pemilu 2004, 38 partai pada Pemilu 2009, 12 partai pada Pemilu 2014, 14 partai pada Pemilu 2019, dan kini 18 partai untuk Pemilu 2024. Jumlah ini diluar partai politik lokal Aceh.
Multipartai tak sehat
Secara teoritik, jumlah partai dalam setiap kali Pemilu di era reformasi ini bukanlah jumlah yang ideal. Para ahli menyebut bilangan jumlah sebanyak itu termasuk dalam kategori sistem multipartai ekstrim. Giovani Sartori menyebutnya dengan istilah Polarized Pluralism, sistem multipartai dengan derajat polarisasi yang tinggi. Jumlah (number of parties) yang ideal, yang dalam istilah Sartori disebut Moderate Pluralism ada di kisaran angka 3-5 partai politi  (Coppedge, 2012).
Pemilihan umum dengan sistem multipartai ekstrim yang ditandai oleh jumlah partai politik peserta yang terlalu banyak cenderung melahirkan sejumlah problematika dan dampak politik yang tidak sehat dalam kehidupan kepolitikan suatu negara.
Sebagaimana tampak gejalanya dalam perhelatan pemilihan umum pasca reformasi, problematika itu tampak pada aspek-aspek teknis perencanaan, Â penganggaran, manajemen logistik (pengadaan dan distribusi), pengaturan kampanye, Â tatakelola administrasi pelaksanaan pemungutan dan penghitungan suara. Bahkan juga pada penyelesaian sengketa dan perselisihan hasil Pemilihan umum di kemudian hari.
Di samping menyangkut aspek teknis penyelenggaraan, pemilihan umum dengan sistem multipartai ekstrim juga berpotensi melahirkan konfigurasi kekuatan politik yang seimbang di parlemen, karena sulitnya melahirkan partai pemenang pemilihan umum dengan perolehan suara yang signifikan untuk membentuk pemerintahan.
Akibatnya, koalisi harus dibentuk untuk membangun blok-blok kekuatan dalam kerangka penyelenggaraan pemerintahan. Dan koalisi yang terbentuk dalam situasi seperti ini cenderung hanya didasarkan pada praktik-praktik transaksional antar partai/fraksi di parlemen.
Problematika yang tidak kalah penting adalah menyangkut relasi parlemen-pemerintah (DPR-Presiden). Pemilihan umum dengan jumlah partai yang terlalu banyak yang berdampak pada tidak adanya partai pemenang pemilihan umum dengan perolehan suara mayoritas yang signifikan, terlebih lagi jika parlemen justru dikuasai oleh partai atau koalisi partai yang berbeda dengan partai atau koalisi partai yang menjadi pendukung presiden terpilih, cenderung mengakibatkan tidak efektifnya pemerintahan presidensial.
Dari sisi pemilih, terutama para pemilih di usia sepuh, jumlah partai yang terlampau banyak juga membawa kesulitan tersendiri dalam pemberian suara di TPS, yang berdampak pada kasus salah coblos dan mengakibatkan banyaknya surat suara yang tidak sah.