Akhirnya resmi sudah, pasangan Capres-Cawapres Pemilu 2024 memiliki nomor urut. Anies-Cak Imin Nomor 1, Prabowo-Gibran Nomor 2, Ganjar-Mahfudz Nomor 3.Â
Tidak ada yang istimewa dengan nomor urut dan angka-angka ini. Kecuali bahwa peresmiannya telah menandai fase kontestasi elektoral yang sebenarnya akan segera dimulai, dan nomor-nomor tersebut bakal menjadi identitas pembeda masing-masing pasangan calon.
Selebihnya angka-angka nomor urut itu akan menjadi media komunikasi politik masing-masing kubu pasangan calon dengan konstituennya.Â
Bisa untuk kepentingan mengonsolidasikan barisan, memudahkan sosialisasi dan kampanye, dan pengidentifikasian kolektif basis-basis konstituen dangan pasangan calon.
Namun demikian, dalam tradisi politik simbol, angka-angka itu tentu bukan sekedar angka, bukan angka biasa.Â
Angka-angka itu memiliki kemampuan untuk menggambarkan sesuatu yang bersifat abstrak, gagasan, pesan, isyarat dan tanda-tanda sebuah objek. Ia bahkan bisa dieksploitasi sedemikian rupa sebagai instrumen pembangun spirit hingga pada level menyerupai "jimat" untuk memenangi kontestasi bagi masing-masing pasangan calon.
Interaksi simbolik dalam kontestasi kepentingan
Dalam teori interaksionisme simbolik yang dipromosikan Herbert Mead, simbol-simbol tersebut dapat menciptakan makna yang dapat memicu adanya interaksi sosial antara individu satu dengan individu lainnya.
Dalam konteks komunikasi politik yang dilakukan untuk tujuan mendapatkan insentif elektoral, interaksi sosial melalui penggunaan simbol-simbol itu tentu akan dieksploitasi demikian rupa untuk menghasilkan feedback yang menguntungkan. Dan justru pada titik inilah penggunaan simbol-simbol potensial memicu masalah. Â
Angka 1 misalnya dengan mudah dapat dimaknai sebagai yang utama, yang terpenting, the best dan akhirnya harus sampai pada simpulan komunikan bahwa angka ini adalah simbol kemenangan.Â
Meski kita tahu sejauh ini pasangan calon nomor urut 1 masih berada di level terbawah dalam hampir setiap hasil survei yang dirilis oleh lembaga-lembaga survei.
Dalam komunikasi simbolik, angka 2 lazimnya melahirkan "V sign" (tanda V) yang dibentuk oleh dua jari (tengah dan telunjuk) yang terangkat.Â
Huruf V sendiri merupakan singkatan dari Victory, simbol kemenangan, kadang juga dimaknai sebagai isyarat perdamaian.Â
Tapi simbol V ini bersifat partikular, bergantung bagaimana ia diekspresikan. Ketika simbol V ini diekspresikan dengan cara telapak tangan menghadap si pemberi isyarat, ia berubah makna menjadi penghinaan.
Kemudian angka 3. Menarik apa yang diungkapkan Ganjar Pranowo pada sesi orasi sambutan usai pengundian nomor urut kemarin malam itu.Â
Ganjar memaknai angka 3 sebagai simbol persatuan, merujuk pada Sila Ketiga Pancasila: Persatuan Indonesia. Pemaknaan yang baik tentu saja.Â
Sayangnya, PDIP sendiri sebagai leader dari partai-partai koalisi pendukung pemerintahan Jokowi-Ma'ruf gagal merawat persatuan di antara mereka justru di penghujung masa bakti pemerintahan ini.
Fokus pada hakikat kontestasi
Narasi atas pemaknaan simbolik angka-angka yang menjadi nomor urut pasangan calon sebagaimana terurai di atas terbaca dan pasti terasa tidak koheren, jauh pula dari konsistensi nalar. Jika diperbandingkan satu dengan lainnya juga tidak memenuhi asas appeal to appeal.
Memang. Dan itulah yang sesungguhnya akan terjadi ketika simbol-simbol (apapun bentuk dan rupanya) dimaknai dalam ruang kontestasi kepentingan. Termasuk angka-angka nomor urut pasangan Capres-Cawapres.Â
Angka 1, 2 dan 3 bisa jadi baik tapi juga bisa jadi buruk, bergantung siapa yang memberinya makna dan untuk kepentingan apa.
Maka lupakan angka-angka nomor urut itu sebagai simbol dari makna-makna tertentu. Cukuplah ketiganya sebagai penanda atributif kontestasi sekaligus pernak-pernik dekoratif sebuah pesta saja, pesta demokrasi. Ada tiga alasan mengapa ini perlu dilakukan.
Pertama, memberi makna dengan cara suka-suka atas dasar kepentingan kontestasi pada angka-angka nomor urut itu potensial melahirkan masalah baru dan beban tambahan elektoral.Â
Pada level elit mungkin tidak jadi soal. Tapi di akar rumput, terutama di basis massa "bersumbu pendek" dari masing-masing kubu, pemaknaan angka-angka nomor urut yang bisa saling dipelesetkan atau diberi konotasi-konotasi buruk bisa menjadi pemicu pertengkaran.
Kedua, sibuk dengan pemaknaan atas simbol-simbol dan saling bekerja keras menanamkannya dalam pikiran para pemilih sedikit-banyak akan menyisihkan hakikat kontestasi sebagai forum ada gagasan dan rencana-rencana programatik untuk masa depan negara bangsa. Energi positif kontestasi akan habis oleh urusan-urusan artifisial yang tidak substantif.
Ketiga, penggunaan secara masif simbol-simbol dalam kontestasi politik biasanya bertahan lama dan tak mudah dihapus dari memori kolektif masyarakat.Â
Terlebih jika simbol-simbol itu berkonotasi buruk, menghina, serta merendahkan harkat dan martabat kemanusiaan.Â
Pengalaman Pemilu 2019 yang mana dua polar pendukung capres-cawapres saling "mencebongkan" dan "mengkampretkan" merupakan contoh buruk politisasi simbol yang saling menghinakan dan menyakiti.
Yuk ah, lupakan urusan simbol, abaikan angka-angka nomor urut, kecuali sekedar sebagai penanda dan atribut pesta. Dan fokuslah pada hakikat kontestasi sebagai ajang festival gagasan dan kegembiraan. Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H