Maka lupakan angka-angka nomor urut itu sebagai simbol dari makna-makna tertentu. Cukuplah ketiganya sebagai penanda atributif kontestasi sekaligus pernak-pernik dekoratif sebuah pesta saja, pesta demokrasi. Ada tiga alasan mengapa ini perlu dilakukan.
Pertama, memberi makna dengan cara suka-suka atas dasar kepentingan kontestasi pada angka-angka nomor urut itu potensial melahirkan masalah baru dan beban tambahan elektoral.Â
Pada level elit mungkin tidak jadi soal. Tapi di akar rumput, terutama di basis massa "bersumbu pendek" dari masing-masing kubu, pemaknaan angka-angka nomor urut yang bisa saling dipelesetkan atau diberi konotasi-konotasi buruk bisa menjadi pemicu pertengkaran.
Kedua, sibuk dengan pemaknaan atas simbol-simbol dan saling bekerja keras menanamkannya dalam pikiran para pemilih sedikit-banyak akan menyisihkan hakikat kontestasi sebagai forum ada gagasan dan rencana-rencana programatik untuk masa depan negara bangsa. Energi positif kontestasi akan habis oleh urusan-urusan artifisial yang tidak substantif.
Ketiga, penggunaan secara masif simbol-simbol dalam kontestasi politik biasanya bertahan lama dan tak mudah dihapus dari memori kolektif masyarakat.Â
Terlebih jika simbol-simbol itu berkonotasi buruk, menghina, serta merendahkan harkat dan martabat kemanusiaan.Â
Pengalaman Pemilu 2019 yang mana dua polar pendukung capres-cawapres saling "mencebongkan" dan "mengkampretkan" merupakan contoh buruk politisasi simbol yang saling menghinakan dan menyakiti.
Yuk ah, lupakan urusan simbol, abaikan angka-angka nomor urut, kecuali sekedar sebagai penanda dan atribut pesta. Dan fokuslah pada hakikat kontestasi sebagai ajang festival gagasan dan kegembiraan. Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H