Meski kita tahu sejauh ini pasangan calon nomor urut 1 masih berada di level terbawah dalam hampir setiap hasil survei yang dirilis oleh lembaga-lembaga survei.
Dalam komunikasi simbolik, angka 2 lazimnya melahirkan "V sign" (tanda V) yang dibentuk oleh dua jari (tengah dan telunjuk) yang terangkat.Â
Huruf V sendiri merupakan singkatan dari Victory, simbol kemenangan, kadang juga dimaknai sebagai isyarat perdamaian.Â
Tapi simbol V ini bersifat partikular, bergantung bagaimana ia diekspresikan. Ketika simbol V ini diekspresikan dengan cara telapak tangan menghadap si pemberi isyarat, ia berubah makna menjadi penghinaan.
Kemudian angka 3. Menarik apa yang diungkapkan Ganjar Pranowo pada sesi orasi sambutan usai pengundian nomor urut kemarin malam itu.Â
Ganjar memaknai angka 3 sebagai simbol persatuan, merujuk pada Sila Ketiga Pancasila: Persatuan Indonesia. Pemaknaan yang baik tentu saja.Â
Sayangnya, PDIP sendiri sebagai leader dari partai-partai koalisi pendukung pemerintahan Jokowi-Ma'ruf gagal merawat persatuan di antara mereka justru di penghujung masa bakti pemerintahan ini.
Fokus pada hakikat kontestasi
Narasi atas pemaknaan simbolik angka-angka yang menjadi nomor urut pasangan calon sebagaimana terurai di atas terbaca dan pasti terasa tidak koheren, jauh pula dari konsistensi nalar. Jika diperbandingkan satu dengan lainnya juga tidak memenuhi asas appeal to appeal.
Memang. Dan itulah yang sesungguhnya akan terjadi ketika simbol-simbol (apapun bentuk dan rupanya) dimaknai dalam ruang kontestasi kepentingan. Termasuk angka-angka nomor urut pasangan Capres-Cawapres.Â
Angka 1, 2 dan 3 bisa jadi baik tapi juga bisa jadi buruk, bergantung siapa yang memberinya makna dan untuk kepentingan apa.