Pasca jatuhnya rezim otoritarian orde baru, Indonesia memasuki era ledakan demokratisasi yang belum pernah dialami sebelumnya. Progresnya per saat ini, di sejumlah sisi cukup membanggakan, namun di beberapa sisi yang lain kerap memicu kekhawatiran.
Diskursus soal demokrasi sendiri baik sebagai sistem politik dan pemerintahan maupun sebagai “cara hidup” bermasyarakat dan berbangsa di tengah publik sudah selesai.
Seperti ditunjukkan oleh beberapa hasil survei, hingga saat ini demokrasi masih diterima sebagai sistem pemerintahan yang paling baik oleh masyarakat, meski di beberapa segmen masyarakat ada potensi penurunan dukungan dan kepercayaan terhadap demokrasi.
Progres demokratisasi yang membanggakan misalnya bangsa ini telah berhasil menyelenggarakan pemilu dan pemilihan secara berkala, tertib dan diakui dunia sebagai pemilu yang demokratis; bahkan para pemimpin eksekutif dipilih secara langsung oleh rakyat. Institusi militer yang di era orde baru cukup hegemonik di panggung kepolitikan nasional berhasil dikembalikan ke barak tanpa gejolak.
Proses desentraliasi kewenangan ke daerah sekaligus penerapan kebijakan otonomi yang luas juga relatif berjalan baik. Dan yang tidak kalah penting adalah partisipasi warga dalam kehidupan politik kebangsaan dan kenegaraan yang terus mengalami peningkatan baik kuantitas maupun kualitas.
Namun demikian di sisi capaian-capaian prestatif itu, dalam beberapa tahun terakhir memang harus diakui bahwa proses demokratisasi di Indonesia tampaknya tengah mengarah pada sejumlah kecenderungan distorsif. Satu jenis kecenderungan yang lahir dari proses berdemokrasi itu sendiri. Lipson mengidentifikasi gejala ini sebagai sinyal kemunduran demokrasi.
Lebih dari setengah abad silam, Leslie Lipson pernah memberikan warning (The Democratic Civilization, 1964), bahwa di sisi capaian-capaian prestatifnya dalam mengatasi persoalan-persoalan tatakelola ekonomi; menghadirkan kesejahteraan; mengurangi bahkan menghilangkan diskriminasi berbasis rasial; menghilangkan sistem kelas, dll, demokrasi sesungguhnya tengah dihadapkan pada sedikitnya 4 (empat) potensi bahaya di masa depan.
Keempat potensi bahaya itu berkenaan dengan menguatnya fenomena berikut ini : Pertama, uniformitasi partai-partai politik dan penegasian konsep dan praktek oposisional dalam pemerintahan; Kedua, kecenderungan tiranik oleh mayoritas (tyranny of majority); Ketiga, sistem demokrasi cenderung menempatkan orang-orang bodoh kedalam tampuk kekuasaan (the leadership of ignorant); Keempat, kecenderungan bahwa yang berkuasa sesungguhnya hanyalah sekelompok kecil oligarkis (a small group actually rules). Hemat saya, hingga batas tertentu perkembangan demokrasi Indonesia mutakhir tampaknya sedang berada dalam situasi ini.
Meredupnya Kekuatan Oposisional
Dalam tradisi demokrasi, keberadaan oposisi adalah keniscayaan. Tidak ada demokrasi tanpa oposisi. Setidaknya ada dua asumsi yang melatarbelakangi mengapa keberadaan oposisi adalah sebuah keniscayaan dalam tradisi demokrasi.
Pertama, pasca era kenabian yang sakral atau tradisi theokratik tidak ada orang yang suci dan ma’shum. Setiap orang bisa salah, termasuk para pemimpin yang dipercaya dan dipilih oleh mayoritas rakyat sekalipun. Dalam konteks ini, oposisi hadir untuk mengingatkan kemungkinan salah dari para pemimpin.
Kedua, meminjam dalil klasik Lord Acton, power tend to corruptc, and absolute power corrupts absolutely. Dalam kerangka ini oposisi hadir untuk mengontrol naluri purba dan operasi kekuasaan yang cenderung korup.
Dalam sebuah metafor, kaum oposisi lazim disebut sebagai “advocatus diabolli”, “setan yang menyelamatkan”. Kerjanya “mengganggu” (penguasa) layaknya setan, namun “gangguan” itu sesungguhnya dilakukan untuk menyelamatkan kehidupan bersama.
Lipson mengingatkan, bahwa kecenderungan partai-partai besar di banyak negara yang semakin mirip satu dengan yang lainnya perlahan akan menegasikan konsep oposisi dalam praktik penyelenggaraan kekuasaan pemerintahan. Sebuah tradisi berdemokrasi yang terbukti efektif dalam mengontrol penyelenggaraan pemerintahan dari kemungkinan terjadinya penyalahgunaan kekuasaan atau kesalahan-kesalahan manajemen pembangunan oleh pemerintah.
Pasca rezim otoritarian orde baru partai-partai sebagai representasi keragaman orientasi politik memang tumbuh subur. Dari arena kontestasi elektoral kemudian muncul partai-partai besar yang mendominasi perhelatan. Dan legal-formal, mereka juga sangat beragam sebagaimana ditunjukkan, setidaknya oleh platform, visi dan warna-warni atributifnya.
Namun dalam dua-tiga periode terakhir rezim elektoral, keragaman ini nyaris tidak berarti ketika relasi kekuasaan pemerintah-parlemen dioperasikan.
Partai-partai yang dalam tradisi demokrasi elektoral mestinya bersedia memainkan fungsi sebagai oposisi karena barisan koalisinya kalah dalam pemilu kemudian lebih memilih bergabung dalam koalisi pemerintahan.
Ringkasnya saat ini kekuatan oposisional sebagai salah satu tradisi penting berdemokrasi dalam konteks relasi kuasa perlemen-pemerintah di Indonesia sedang meredup, mengalami kemerosotan.
Situasi ini terjadi karena ada gejala uniformitasi partai-partai di panggung kepolitikan nasional, yang disadari atau tidak, langsung atau tidak, gejala ini sesungguhnya berdampak pada pengingkaran konsepsi dan praktik oposisional.
Tirani Mayoritas
Problematika distorsif demokrasi Indonesia berikutnya adalah menggejalanya kecenderungan tirani mayoritas oleh rezim elektoral. Lipson sendiri mendefinisikan tirani sebagai perlakuan brutal atau sewenang-wenang oleh kelompok yang lebih besar terhadap sekelompok kecil orang (kaum minoritas), dan diabaikannya hak-hak mereka sebagai minoritas atau apa yang diyakini minoritas sebagai hak mereka.
Dalam konteks Indonesia kontemporer, diksi “mayoritas-minoritas” Lipson bisa digunakan untuk menganalisis konfigurasi diametral kelompok partai/koalisi partai pemenang pemilu bersama para konstituennya sebagai mayoritas versus kelompok yang kalah dalam pemilu sebagai minoritas.
Dalam tahun-tahun terakhir ini ada kecenderungan kelompok mayoritas kerap berusaha “memaksakan” kehendak dan melegalkannya melalui sejumlah produk kebijakan politik terhadap minoritas. Setidaknya situasi ini dirasakan oleh “minoritas politik” di parlemen.
Ironisnya, rezim-rezim yang berkuasa karena dukungan mayoritas itu terpilih dan memegang kekuasaan pemerintahan justru melalui suatu pemilihan umum yang demokratis.
Dalam konteks ini dapat disimpulkan, bahwa demokrasi sesungguhnya bisa digunakan sebagai instrumen untuk meraih kekuasaan dan memperkuatnya, namun sekaligus pada akhirnya bisa pula menjadi senjata yang dapat membunuh demokrasi itu sendiri.
Hemat penulis, Indonesia sekarang sedang dihadapkan pada kemungkinan ini : demokrasinya yang sedang bertumbuh kembang bisa kolaps, bahkan mati terbunuh oleh rezim yang justru dihasilkan melalui jalan pemilu yang demokratis.
Lantas bagaimana agar kecenderungan tirani mayoritas di negeri ini tidak semakin mengeras?
Lipson mengusulkan agar diciptakan suatu mekanisme politik dalam penyelenggaraan pemerintahan yang memungkinkan kelompok minoritas dapat melindungi diri atau bahkan melawan tirani itu dengan cara-cara yang tetap demokratis, disamping dengan terus merawat dan mengembangkan sistem oposisi yang kritis dan konstruktif.
Penulis ingin menambahkan untuk meminimalisasi kecenderungan tirani mayoritas ini konsep demokrasi deliberatif mendesak untuk semakin ditumbuhkembangkan dalam praktik berdemokrasi di tanah air, baik melalui instrumen legal (perundang-undangan) maupun dengan cara-cara kultural.
“Ignoran” di Panggung Kekuasaan
Tesis Lipson berikutnya menjelaskan, bahwa sistem demokrasi cenderung menempatkan orang-orang bodoh kedalam tampuk kekuasaan (the leadership of ignorant). Kecenderungan ini terjadi karena demokrasi adalah sistem yang terbuka bagi semua orang, pun dalam proses rekruitasi para pemimpin dan pejabat politik.
Dalam tradisi yang terbuka, demikian ungkap Lispon, para ignoran (bodoh, bebal, tidak menyadari, bahkan seorang despot pun) bisa menjadi penguasa.
Di sisi lain, dalam perspektif elit-nya Gaetano Mosca atau Vilfredo Parreto, ada satu konsepsi dasar bahwa secara alamiah hanya segelintir manusia yang memiliki kemampuan dan kapabilitas untuk berkuasa dan memimpin orang banyak.
Kesulitan dilematisnya kemudian, bahwa tidak ada suatu cara atau mekanisme apapun yang bisa diberikan oleh demokrasi untuk bisa mendeteksi dan menseleksi “orang-orang terpilih” yang memiliki pengetahuan, kemampuan serta kepantasan dan kelayakan untuk menjadi penguasa, kecuali melalui jalan elektoral.
Sementara “hukum besi” demokrasi elektoral adalah bahwa sekali orang terpilih menjadi penguasa dalam suatu pemilihan umum, ia sah sebagai penguasa, meski mungkin integritas dan kapabilitasnya jauh dari memadai, atau moralitasnya jauh dari yang dikehendaki banyak orang.
Tanpa bermaksud menggenarilisir, panggung kepolitikan Indonesia mutakhir tampaknya juga sedang dijangkiti patologi politik ini. Beberapa indikasinya antara lain diawali dengan fakta, bahwa diantara ratusan kepala daerah misalnya, sebagian (jika bukan mayoritas) dari mereka maju sebagai calon kepala daerah dengan lebih mengedepankan kekuatan modal finansial ketimbang rekam jejak kompetensi, kecakapan dan kelayakan pribadinya sebagai calon pemimpin. Fakta ini lebih masif lagi jika satuan contoh analisisnya diperluas ke ranah legislatif, baik di DPR maupun DPRD.
Kepemimpinan para ignoran ini banyak terkonfirmasi kemudian melalui antara lain sejumlah gejala atau bahkan fakta, mulai dari lahirnya kebijakan-kebijakan politik yang tidak berpihak pada kepentingan banyak orang; eksplorasi sumberdaya alam yang berdampak pada kerusakan lingkungan dan kemerosotan tatananan sosial; alergi akut terhadap kritik, koreksi dan suara-suara publik yang berbeda; dan tentu saja korupsi yang semakin mewabah di berbagai lini dan tingkatan kekuasaan dan jabatan.
Kuasa Oligarki
Tesis terakhir Lipson, bahwa dalam praktiknya, negara dan sistem pemerintahan demokrasi juga selalu menghadirkan fakta ironis, bahwa yang berkuasa sesungguhnya hanyalah sekelompok kecil orang (oligarkis) dari rezim yang dipilih oleh mayoritas rakyat itu. Rakyat banyak sesungguhnya tidak pernah benar-benar berkuasa.
Kepercayaan bahwa demokrasi artinya kekuasaan berada di tangan rakyat adalah ilusi dan utopia belaka. Dalam situasi oligarkis itu, maka menjadi jelas bahwa kepentingan rakyat sesungguhnya tidak pernah benar-benar menjadi prioritas pemerintah. Sebaliknya, yang menjadi prioritas adalah kepentingan kaum oligarkis itu sendiri.
Lagi-lagi, Indonesia saat ini tampaknya juga sedang berada dalam situasi yang demikian rupa dimana kontrol atas kekuasaan nyaris sepenuhnya berada di tangan para oligark, dan diproyeksikan lebih untuk kepentingan mereka; kepentingan bisnis dan kepentingan kuasa mereka.
Situasi yang demikian terjadi bukan saja di panggung kepolitikan nasional seperti yang ramai diperbincangkan, melainkan juga sudah mewabah di panggung-panggung kepolitikan lokal di berbagai daerah di tanah air.
Mereka, para oligark itu, layaknya bhayangkara yang berbaris di pagar istana dan pendopo-pendopo, mereka “memagari” aspirasi rakyat dan kepentingan publik agar tidak bisa menembus ruang kerja Presiden, Gubernur, Bupati dan Walikota.
Selain keempat gejala diatas, dalam konteks spesifik demokrasi elektoral, penulis juga mencermati Indonesia sedang dihadapkan pada sejumlah problematika yang tak kalah mencemaskan berikut ini.
Pertama menguatnya politik identitas, yakni penggunaan simbol-simbol primordialistik terutama agama dan etnik untuk kepentingan menyerang dan menjatuhkan lawan politik sekaligus mengambil keuntungan darinya.
Demokrasi memang memberikan kebebasan kepada setiap orang untuk mengekspresikan ikatan-ikatan primordialistiknya, entah itu agama, budaya, etnik, lokalitas dsb.
Konstitusi kita juga memberikan jaminan akan hal ini. Akan tetapi semuanya tentu harus dilakukan dalam koridor prinsip-prinsip inklusifitas, kesetaraan, toleransi dan kepatuhan atas norma-norma yang disepakati (Pancasila).
Dalam kerangka kontestasi kekuasaan untuk mendapatkan calon-calon pemimpin yang ideal, prinsip-prinsip ini juga masih membutuhkan aspek-aspek kompetensi, kecakapan dan kelayakan dari para kandidat. Politik identitas yang mengabaikan prinsip-prinsip luhur demokrasi dan konsensus atas nilai-nilai luhur Pancasila sebagai ideologi bangsa potensial akan merusak kohesifitas sosial, memicu pembelahan dalam masyarakat dan ujungnya tentu dapat menjurus pada disintegrasi bangsa.
Kedua, berkembangnya praktik politik dinasti terutama di daerah. Pilkada langsung yang digagas sebagai jalan untuk mengkonsolidasikan demokrasi di tingkat lokal dengan memberikan keleluasaan kepada masyarakat di daerah untuk memilih langsung para pemimpinnya di banyak daerah terdistorsi oleh fenomena kebangkitan dan merebaknya praktik politik dinasti.
Suatu praktik politik dimana regenerasi kekuasaan disiasasti demikian rupa agar tetap berada di tangan satu keluarga secara terus-menerus.
Dalam beberapa tahun terakhir fenomena tersebut bahkan mengalami proliferasi (persebaran dan perluasan) dimana praktik politik dinasti terjadi bukan hanya di ranah negara (eksekutif dan legislatif) melainkan juga merambah masuk ke arena non-negara terutama di dunia bisnis dan sosial-kemasyarakatan lainnya.
Ketiga, membiaknya bandit-bandit lokal (stationary bandits) yang memanfaatkan ladang subur kebebasan berkiprah yang disediakan oleh otonomi di berbagai daerah.
Fenomena ini kontraproduktif dengan semangat mewujudkan keadilan dan kesejahteraan masyarakat daerah sebagai visi otonomi, karena para bandit itu bukan saja kerap merecoki sistem penyelenggaraan pemerintahan daerah, namun juga sekaligus menimbulkan banyak kerusakan dan kerugian bagi rakyat di berbagai daerah lantaran dominasinya (bahkan kerap sangat monopolistik) atas pelbagai sumberdaya ekeonomi lokal.
Keempat, gejala elektoralisme yang telah menyita terlalu banyak energi kolektif pelbagai elemen bangsa semata hanya untuk urusan menang-kalah dalam kontestasi kekuasaan.
Pemilu memang keniscayaan dalam sistem demokrasi. Tetapi pemilu mestinya benar-benar menjadi arena kontestasi gagasan dan visi membangun dari para kompetitor elektoralnya (partai politik, para kandidat pemimpin eksekutif maupun legislatif) untuk memajukan negara-bangsa; bukan terutama semata-mata urusan memang-kalah pertarungan.
Dan yang tak kalah penting disadari semua pihak, sebagaimana diatur dalam peraturan perundangan pemilu telah diberikan ruang jeda khusus dalam kerangka waktu perjalanan bangsa dan negara.
Karena pemilu hanyalah alat untuk melahirkan kewenangan dan memperbaruinya secara berkala, lalu dengan kuasa dan kewenangan itu cita-cita negara bangsa diikhtiarkan perwujudannya.
Saat pemilu usai dan calon-calon pemimpin (eksekutif maupun legislatif) terpilih dan dilantik, mestinya selesai pula kompetisi menang-kalah; lalu semua elemen bangsa fokus mewujudkan cita-cita bernegara sesuai porsi yang dimandatkan oleh rakyat.
Pemenang pemilu silahkan pimpin bangsa ini selama lima tahun kedepan, yang kalah jadilah pengawal operasi kekuasaan yang bermartabat dan berintegritas.
Dan rakyat disilahkan untuk kembali pada kehidupan “normal” di luar kontestasi menang-kalah, jangan terus-menerus diseret-seret ke arena pertarungan tanpa akhir yang bukan saja dapat menghabiskan energi positif untuk terlibat dalam proses memajukan kehidupan bersama tetapi juga dapat menghancurkan kohesifitas sosial bahkan menjerumuskannya pada situasi disintegratif.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H