Mohon tunggu...
Agus Sutisna
Agus Sutisna Mohon Tunggu... Dosen - Lecturer I Researcher IInstagram : @kiagussutisna

Dosen | Pegiat Sosial | Menulis berharap ridho Allah dan manfaat bagi sesama I Nominee Kompasiana Award 2024 - Best in Opinion

Selanjutnya

Tutup

Politik

Problematika Mutakhir Demokrasi Indonesia

7 Maret 2022   09:00 Diperbarui: 7 Desember 2022   09:34 623
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Indonesia memasuki era ledakan demokratisasi yang belum pernah dialami sebelumnya (Pixabay)

Di sisi lain, dalam perspektif elit-nya Gaetano Mosca atau Vilfredo Parreto, ada satu konsepsi dasar bahwa secara alamiah hanya segelintir manusia yang memiliki kemampuan dan kapabilitas untuk berkuasa dan memimpin orang banyak.

Kesulitan dilematisnya kemudian, bahwa tidak ada suatu cara atau mekanisme apapun yang bisa diberikan oleh demokrasi untuk bisa mendeteksi dan menseleksi “orang-orang terpilih” yang memiliki pengetahuan, kemampuan serta kepantasan dan kelayakan untuk menjadi penguasa, kecuali melalui jalan elektoral.

Sementara “hukum besi” demokrasi elektoral adalah bahwa sekali orang terpilih menjadi penguasa dalam suatu pemilihan umum, ia sah sebagai penguasa, meski mungkin integritas dan kapabilitasnya jauh dari memadai, atau moralitasnya jauh dari yang dikehendaki banyak orang.

Tanpa bermaksud menggenarilisir, panggung kepolitikan Indonesia mutakhir tampaknya juga sedang dijangkiti patologi politik ini. Beberapa indikasinya antara lain diawali dengan fakta, bahwa diantara ratusan kepala daerah misalnya, sebagian (jika bukan mayoritas) dari mereka maju sebagai calon kepala daerah dengan lebih mengedepankan kekuatan modal finansial ketimbang rekam jejak kompetensi, kecakapan dan kelayakan pribadinya sebagai calon pemimpin. Fakta ini lebih masif lagi jika satuan contoh analisisnya diperluas ke ranah legislatif, baik di DPR maupun DPRD.

Kepemimpinan para ignoran ini banyak terkonfirmasi kemudian melalui antara lain sejumlah gejala atau bahkan fakta, mulai dari lahirnya kebijakan-kebijakan politik yang tidak berpihak pada kepentingan banyak orang; eksplorasi sumberdaya alam yang berdampak pada kerusakan lingkungan dan kemerosotan tatananan sosial; alergi akut terhadap kritik, koreksi dan suara-suara publik yang berbeda; dan tentu saja korupsi yang semakin mewabah di berbagai lini dan tingkatan kekuasaan dan jabatan.

Kuasa Oligarki

Tesis terakhir Lipson, bahwa dalam praktiknya, negara dan sistem pemerintahan demokrasi juga selalu menghadirkan fakta ironis, bahwa yang berkuasa sesungguhnya hanyalah sekelompok kecil orang (oligarkis) dari rezim yang dipilih oleh mayoritas rakyat itu. Rakyat banyak sesungguhnya tidak pernah benar-benar berkuasa.

Kepercayaan bahwa demokrasi artinya kekuasaan berada di tangan rakyat adalah ilusi dan utopia belaka. Dalam situasi oligarkis itu, maka menjadi jelas bahwa kepentingan rakyat sesungguhnya tidak pernah benar-benar menjadi prioritas pemerintah. Sebaliknya, yang menjadi prioritas adalah kepentingan kaum oligarkis itu sendiri.

Lagi-lagi, Indonesia saat ini tampaknya juga sedang berada dalam situasi yang demikian rupa dimana kontrol atas kekuasaan nyaris sepenuhnya berada di tangan para oligark, dan diproyeksikan lebih untuk kepentingan mereka; kepentingan bisnis dan kepentingan kuasa mereka.

Situasi yang demikian terjadi bukan saja di panggung kepolitikan nasional seperti yang ramai diperbincangkan, melainkan juga sudah mewabah di panggung-panggung kepolitikan lokal di berbagai daerah di tanah air.

Mereka, para oligark itu, layaknya bhayangkara yang berbaris di pagar istana dan pendopo-pendopo, mereka “memagari” aspirasi rakyat dan kepentingan publik agar tidak bisa menembus ruang kerja Presiden, Gubernur, Bupati dan Walikota.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun