Mohon tunggu...
Agus Sutisna
Agus Sutisna Mohon Tunggu... Dosen - Lecturer I Researcher IInstagram : @kiagussutisna

Dosen | Pegiat Sosial | Menulis berharap ridho Allah dan manfaat bagi sesama.

Selanjutnya

Tutup

Cerita Pemilih Pilihan

Pemilu (Lima Kotak) 2024

1 Maret 2022   12:58 Diperbarui: 1 Maret 2022   13:07 245
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Akhir November 2021 lalu Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan menolak permohonan uji materi UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu yang diajukan oleh 4 (empat) orang mantan badan ad hoc Pemilu 2019 di Jawa Barat dan Yogyakarta, yakni: Akhid Kurniawan (KPPS), Subur Makmur (PPS), serta Dimas Permana Hadi dan Heri Darmawan (PPK). Penolakan ini termaktub dalam Putusan MK Nomor 16/PUU-XIX/2021. Permohonan para pemohon terkait soal keserentakan pemilu. 

Mereka menguji ketentuan Pasal 167 ayat (3) dan Pasal 347 ayat (1) UU Pemilu utamanya sepanjang frasa “pemungutan suara dilaksanakan secara serentak.” Poin pentingnya, para pemohon menginginkan agar MK memisahkan pemilihan anggota DPRD provinsi dan kabupaten/kota dari pemilu serentak sebagaimana pernah dilaksanakan tahun 2019 silam karena alasan beban kerja penyelenggara pemilu yang berat. Sekali lagi : MK menolak permohonan ini.

Dengan demikian, Pemilu serentak 2024 mendatang tetap akan berlangsung dengan 5 (lima) kotak pilihan, yakni : Pemilu Presiden dan Wakil Presiden, DPR, DPD, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota. Kecuali jika DPR dan Pemerintah mengubah sikap politik elektoralnya dengan meninggalkan opsi seperti Pemilu 2019 silam, lalu memilih opsi keserentakan lain yang sebelumnya telah disediakan oleh MK, yang sejalan dengan permohonan para pemohon.

Enam Opsi MK

Uji materi terhadap UU Nomor 7 Tahun 2017, khususnya berkenaan dengan Pasal 167 (3) dan Pasal 347 (1) mengenai keserentakan Pemilu sebetulnya bukan yang pertama dilakukan. 

Tahun 2019 silam, Perludem telah melakukannya dengan menyebutkan pilihan model yang diajukan, yakni Model Keempat: Pemilihan umum serentak nasional untuk memilih anggota DPR, DPD, Presiden/Wakil Presiden; dan beberapa waktu setelahnya dilaksanakan Pemilihan umum serentak lokal untuk memilih anggota DPRD Provinsi, anggota DPRD Kabupaten/Kota, pemilihan Gubernur, dan Bupati/Walikota. Saat itu MK juga menolak permohonan Perludem.

Namun demikian, MK memberikan 6 (enam) pilihan model keserentakan Pemilu yang dapat diambil oleh pembuat undang-undangn (DPR dan Pemerintah). Keenam model yang disediakan MK dalam putusan Nomor 55/PUU-XVII/2019 itu adalah sebagai berikut :

Pertama, Pemilihan umum serentak untuk memilih anggota DPR, DPD, presiden dan wakil presiden, dan pemilihan anggota DPRD. 

Kedua, Pemilihan umum serentak untuk memilih anggota DPR, DPD, presiden dan wakil presiden, gubernur, bupati/walikota. 

Ketiga,  Pemilihan umum serentak untuk memilih anggota DPR, DPD, presiden dan wakil presiden, anggota DPRD, gubernur, dan bupati/walikota.

Keempat, Pemilihan umum serentak nasional untuk memilih anggota DPR, DPD, presiden dan wakil presiden, dan beberapa waktu setelahnya dilakukan pemilihan umum serentak lokaluntuk memilih anggota DPRD provinsi, DPRD kab/kota, pemilihan gubernur, dan bupati/walikota. 

Kelima, Pemilihan umum serentak nasional untuk memilih abggota DPR, DPD, presiden dan wakil presiden, dan beberapa waktu setelahnya dilaksanakan pemilu serentak provinsi untuk memilih anggota DPRD provinsi, gubernur, dan kemudian beberapa waktu setelahnya dilakukan pemilu serentak kabupaten/kota untuk memilih dprd Kab/kota dan memilih bupati/walikota. 

Keenam, Pilihan-pilihan lainnya sepanjang tetap menjaga sifat keserentakan pemilihan umum untuk memilih anggota DPR, DPD, dan presiden dan wakil presiden.

 

Sikap Politik Elektoral DPR 

Kedua permohonan perihal model keserentakan pemilu oleh Perludem (2019) dan empat orang mantan penyelenggara badan ad hoc Pemilu 2019 (2021) yang keduanya ditolak oleh MK ini secara substantif memiliki kesamaan fokus meski berbasis perspektif yang berbeda. Yakni soal beban kerja yang terlalu berat dan tidak manusiawi bagi para penyelenggara badan ad hoc (terutama KPPS dan PPS) yang ditimbulkan oleh model keserentakan Pemilu dengan lima kotak (Model Pertama yang disediakan MK) sebagaimana telah dipraktikkan pada Pemilu 2019.

Perludem bertolak dari persepektif evaluasi model keserentakan Pemilu yang dipilih oleh DPR dan Pemerintah dengan melakukan komparasi teoritik dan praktik dengan negara lain. Sementara keempat mantan penyelenggara ad hoc Pemilu 2019 bertolak dari perspektif pengalaman praktis mereka dalam melaksanakan Pemilu dengan model keserentakan 5 kotak. 

Dari kedua basis perspekti tersebut, de facto sama dan sebangun simpulannya, bahwa beban berat dan tak manusiawi ini terbukti telah mengakibatkan musibah yang memprihatinkan semua pihak, dimana ratusan orang meninggal, dan ribuan penyelenggara badan ad hoc Pemilu 2019 lainnya mengalami sakit.

Lantas mengapa MK menolak kedua permohonan tersebut ? MK berpendapat bahwa pilihan model keserentakan Pemilu merupakan wewenang pembuat UU. Dan untuk kebutuhan ini MK telah memberikan 6 (enam) opsi model yang kesemuanya dinyatakan tidak bertentangan dengan UUD 1945 seperti dijelaskan salah seorang Hakim MK, Saldi Isra, bahwa semua pilihan model atau desain keserentakan tersebut adalah tidak bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945 atau konstitusional. 

Justru konsekuensi konstitusionalitasnya menjadi berbeda jika MK mengabulkan permohonan para pemohon. Dengan mengabulkan pilihan model tertentu seperti yang diminta pemohon, maka berarti MK memutuskan model lainnya tidak konstitusional.

Ikhwal musibah yang ditimbulkan karena beban kerja yang berat itu MK sangat memahami, namun aspek ini menjadi bagian dari problematika manajemen teknis elektoral yang menurut MK seharusnya bisa diatur dan disepakati sedemikian rupa oleh DPR, Pemerintah dan KPU sebagai penyelenggara Pemilu. 

Seperti dijelaskan Saldi, terkait beban kerja penyelanggara pemilu lima kota suara, bisa diminimalisir dengan disepakatinya jeda waktu pelaksanaan pemilu. 

Misalnya pembentuk undang-undang dan penyelenggaraan pemilihan umum dapat saja menyepakati adanya jeda waktu antara pemilihan umum anggota DPR provinsi dan anggota DPRD kabupaten/kota dengan pemilihan umum anggota DPR, anggota DPD, dan pemilihan umum presiden dan wakil presiden (Kompas.com, 24/11/2021).

Sampai disini clear sudah. Pertama, berdasarkan putusan MK Nomor 16/PUU-XIX/2021 pilihan model keserentakan Pemilu dikembalikan pada pembuat UU (DPR dan Pemerintah) berdasarkan 6 model yang disediakan MK dan semuanya konstitusional. 

Kedua, berdasarkan sikap politik elektoral DPR dan Pemerintah yang sepakat tidak akan merevisi UU 7 Tahun 2017, Pemilu 2024 mendatang berarti akan kembali digelar dengan model lima kotak.

Lantas, bagaimana dengan “musibah” Pemilu 2019 ? Akan dibiarkan lewat begitu saja dan sama sekali minus ikhtiar, bahkan sekedar niyat untuk mengambil pelajaran dan memperbaikinya supaya tidak terulang ? Kita hanya bisa menunggu sikap politik elektoral DPR dan Pemerintah.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerita Pemilih Selengkapnya
Lihat Cerita Pemilih Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun