Mohon tunggu...
Agus Sutisna
Agus Sutisna Mohon Tunggu... Dosen - Lecturer I Researcher IInstagram : @kiagussutisna

Dosen | Pegiat Sosial | Menulis berharap ridho Allah dan manfaat bagi sesama.

Selanjutnya

Tutup

Cerita Pemilih Pilihan

Pemilu (Lima Kotak) 2024

1 Maret 2022   12:58 Diperbarui: 1 Maret 2022   13:07 245
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kelima, Pemilihan umum serentak nasional untuk memilih abggota DPR, DPD, presiden dan wakil presiden, dan beberapa waktu setelahnya dilaksanakan pemilu serentak provinsi untuk memilih anggota DPRD provinsi, gubernur, dan kemudian beberapa waktu setelahnya dilakukan pemilu serentak kabupaten/kota untuk memilih dprd Kab/kota dan memilih bupati/walikota. 

Keenam, Pilihan-pilihan lainnya sepanjang tetap menjaga sifat keserentakan pemilihan umum untuk memilih anggota DPR, DPD, dan presiden dan wakil presiden.

 

Sikap Politik Elektoral DPR 

Kedua permohonan perihal model keserentakan pemilu oleh Perludem (2019) dan empat orang mantan penyelenggara badan ad hoc Pemilu 2019 (2021) yang keduanya ditolak oleh MK ini secara substantif memiliki kesamaan fokus meski berbasis perspektif yang berbeda. Yakni soal beban kerja yang terlalu berat dan tidak manusiawi bagi para penyelenggara badan ad hoc (terutama KPPS dan PPS) yang ditimbulkan oleh model keserentakan Pemilu dengan lima kotak (Model Pertama yang disediakan MK) sebagaimana telah dipraktikkan pada Pemilu 2019.

Perludem bertolak dari persepektif evaluasi model keserentakan Pemilu yang dipilih oleh DPR dan Pemerintah dengan melakukan komparasi teoritik dan praktik dengan negara lain. Sementara keempat mantan penyelenggara ad hoc Pemilu 2019 bertolak dari perspektif pengalaman praktis mereka dalam melaksanakan Pemilu dengan model keserentakan 5 kotak. 

Dari kedua basis perspekti tersebut, de facto sama dan sebangun simpulannya, bahwa beban berat dan tak manusiawi ini terbukti telah mengakibatkan musibah yang memprihatinkan semua pihak, dimana ratusan orang meninggal, dan ribuan penyelenggara badan ad hoc Pemilu 2019 lainnya mengalami sakit.

Lantas mengapa MK menolak kedua permohonan tersebut ? MK berpendapat bahwa pilihan model keserentakan Pemilu merupakan wewenang pembuat UU. Dan untuk kebutuhan ini MK telah memberikan 6 (enam) opsi model yang kesemuanya dinyatakan tidak bertentangan dengan UUD 1945 seperti dijelaskan salah seorang Hakim MK, Saldi Isra, bahwa semua pilihan model atau desain keserentakan tersebut adalah tidak bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945 atau konstitusional. 

Justru konsekuensi konstitusionalitasnya menjadi berbeda jika MK mengabulkan permohonan para pemohon. Dengan mengabulkan pilihan model tertentu seperti yang diminta pemohon, maka berarti MK memutuskan model lainnya tidak konstitusional.

Ikhwal musibah yang ditimbulkan karena beban kerja yang berat itu MK sangat memahami, namun aspek ini menjadi bagian dari problematika manajemen teknis elektoral yang menurut MK seharusnya bisa diatur dan disepakati sedemikian rupa oleh DPR, Pemerintah dan KPU sebagai penyelenggara Pemilu. 

Seperti dijelaskan Saldi, terkait beban kerja penyelanggara pemilu lima kota suara, bisa diminimalisir dengan disepakatinya jeda waktu pelaksanaan pemilu. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerita Pemilih Selengkapnya
Lihat Cerita Pemilih Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun