Mohon tunggu...
Teguh Hariawan
Teguh Hariawan Mohon Tunggu... Guru - Traveller, Blusuker, Content Writer

Blusuker dan menulis yang di Blusuki. Content Writer. "Menyurat yang Silam, Menggurat yang Menjelang " : (Nancy K Florida)

Selanjutnya

Tutup

Diary Pilihan

Perang Bubat, Cerita Rakyat yang Tumbuhkan Dendam Kesumat

10 Januari 2021   22:04 Diperbarui: 10 Januari 2021   22:07 4188
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Iring-iringan (kuwaluhan.com)

Sebelum 2018, tak ada jalan bernama Majapahit atau Gajah Mada di kota-kota Jawa Barat. Demikian pula di  Jatim, Jateng dan Yogyakarta, tak pernah ditemui jalan yang bernama Siliwangi atau nama-nama tokoh dari Kerajaan Sunda di masa lalu. Itu fakta serta dampak dari cerita rakyat yang diwariskan lintas generasi dari mulut-ke mulut tentang  Perang Bubat. Kisah dan narasi  yang terbangun  telah menimbulkan luka batin, melahirkan rasa  antipati dan dendam kesumat. Begitulah, tak semua cerita rakyat mampu memberi pesan moral positif bagi masyarakat "pembacanya".

Cerita Peristiwa  Bubat

Perang Bubat, tepatnya Peristiwa Bubat. Kejadian yang melibatkan Hayam Wuruk dan Gajah Mada di satu sisi. Serta  raja Sunda, Prabu Linggabuana dan putri kesayangannya, Dyah Pitaloka Citraresmi,  di pihak lain. 

Bermula dari ketertarikan Prabu Hayam Wuruk muda pada kecantikan Dyah Pitaloka Citraresmi.  Kadung kesengsem, Sri Maharaja Rajasanagara, gelar resmi Hayam Wuruk, meminta Gajah Mada untuk melamar serta menjadikan Dyah Pitaloka Citraresmi sebagai permaisurinya. Maka, sebagai orang dekat dan orang kepercayaan Hayam Wuruk, Gajah Mada pun segera melaksanakan titah Sri Baginda.

Singkat cerita, Kerajaan Sunda setuju atas lamaran Hayam Wuruk melalui Gajah Mada. Maka pada saat yang ditentukan, datanglah rombongan Raja Sunda beserta putrinya, Dyah Pitaloka Citraresmi ke Majapahit. Rombongan sebelum masuk istana, oleh para punggawa Majapahit dipersilahkan untuk mendirikan peristirahatan sementara di Bubat. Sebuah tanah lapang di dekat ibukota Majapahit. 

Kedatangan Prabu Linggabuana beserta Dyah Pitaloka Citraresmi demikian membahagiakan Prabu Hayam Wuruk. Namun tidak demikian dengan Mahapatih Gajah Mada. Awalnya, Gajah Mada sebenarnya sangat sepakat jika Hayam Wuruk mempersunting Dyah Pitaloka sebagai permaisuri. Secara politis itu akan sangat menguntungkan lantaran bisa mempersatukan dua kerajaan besar di tanah Jawa. 

Namun, begitu rombongan kemanten perempuan datang, Gajah Mada dan pejabat Majapahit lainnya mengubah skenario. Entah itu atas inisiatif pribadi Gajah Mada, atau ada desakan pihak lain. Rencana prosesi penerimaan Dyah Pitaloka oleh Hayam Wuruk dirubah total. 

Intinya, Gajah Mada dan pejabat Majapahit di bawahnya menghendaki, Dyah Pitaloka yang sudah jauh-jauh datang dari tanah Sunda harus diserahkan sebagai tanda persembahan kepada Raja Majapahit. 

Sontak, Prabu Linggabuana menolak mentah-mentah pemintaan Gajah Mada tersebut. Ini adalah penghinaan menurut sang prabu. Dia datang dari Kerajaan Sunda karena mengantarkan putrinya untuk dipersunting secara terhormat oleh raja Majapahit. Bukan diserahkan sebagai sesembahan. Karena tidak mencapai titik temu, dan masing-masing mempertahankan kehormatannya, maka tak dapat dielakkan, terjadilah pertumpahan darah di Lapangan Bubat. 

Dalam pertumpahan darah itu, Raja Sunda dan rombongannya yang memang tidak bersiap untuk perang, gugur mengenaskan  secara keseluruhan. Dyah Pitaloka Citraresmi pun menyusul bunuh diri setelah meratapi ayahnya yang telah gugur. Melihat itu semua,  Gajah Mada pun menyesal. Terlebih saat tahu Raja Hayam Wuruk murka mendengar peristiwa pertumpahan darah itu dan tak lagi menghiraukannya. 

Demikianlah inti cerita tutur Perang Bubat yang dari sisi kerajaan Sunda dan masyarakatnya, konflik di Lapangan Bubat telah menimbulkan memori kolektif sebagai bentuk penghinaan dan pengkhianatan. Peristiwa ini, diingat oleh mereka sebagai pembunuhan besar-besaran oleh rakyat Majapahit terhadap rakyat Sunda.

Memori ini diwariskan secara turun temurun dalam kurun waktu ratusan tahun. Akhirnya, tidak ada pesan moral positif yang tersampaikan. Malah menumbuhkan dendam kesumat berkepanjangan. Bahkan, dibumbui mitos dilarang menikah  bagi orang Sunda dan Jawa!

Perang Bubat sebagai Catatan Sejarah.

Apakah cerita Perang Bubat ini peristiwa sejarah atau rekaan semata?  Di kalangan akademisi, peristiwa di lapangan Bubat masih menimbulkan kontroversi. Rujukan cerita Perang Bubat adalah mengambil dari beberapa penggalan kisah dalam kitab Pararaton yang disusun sekitar 400-500 tahun setelah  Majapahit runtuh.

Lebih lengkapnya, peristiwa pembantaian Raja Sunda dan putrinya itu secara lebih detil  diuraikan di kitab Kidung Sunda yang disusun 300 tahun setelah munculnya Pararaton. 

Dari penggalan-penggalan cerita inilah, maka tragedi Perang Bubat mengalir menjadi cerita tutur yang berkembang di masyarakat tanpa pernah tahu kebenarannya. Tidak pernah ditemukan sumber prasasti baik dari zaman Kerajaan Majapahit atau Kerajaan Sunda yang mencatat tragedi di  lapangan Bubat. 

Bahkan, kitab Nagara Krtagama sebagai warisan karya sastra yang sezaman dengan Hayam Wuruk,  sedikit pun tak mencatatnya. Padahal Prapanca adalah jurnalis sejati. Mata, telinga serta pengalamannya saat  keliling tlatah Jawa Timur,  tak pernah dia mendengar cerita itu pernah terjadi sehingga perlu mencatatnya di Nagara Krtagama.

Memang, ada yang mengatakan Nagara Krtagama adalah puja sastra. Karya untuk mengagungkan Raja Hayam Wuruk sehingga tak perlu dinodai dengan catatan tragedi yang memalukan bagi Majapahit dan memilukan bagi Kerajaan Sunda. 

Bahkan, Prof. Edi Sedyawati, arkeolog terkemuka di tanah air menyatakan, bisa jadi Peristiwa Bubat adalah sisipan penyalin Pararaton. Sekedar tambahan dari orang Belanda yang pertama kali menelitinya.

Pendapat berbeda dikemukakan oleh Agus Aris Munandar, cerita Perang Bubat adalah cerita sejarah. Keyakinan ini diperoleh oleh Prof Agus Aris Munandar setelah mempelajari Kisah Panji Angreni. Menurutnya, kisah kegagalan pernikahan Hayam Wuruk dengan Dyah Pitaloka mirip-mirip dengan Kisah Panji.

Isinya, Raden Panji sedang kasmaran dengan Dewi Angreni. Namun, kedua orangtuanya tidak merestui hubungan cinta itu karena Raden Panji sudah dijodohkan sejak kecil dengan Dewi Sekartaji. Akhirnya, Raden Panji pun merana karena kehilangan Dewi Angreni.

Konteks Masa Kini

Peristiwa Bubat yang sudah kadung jadi cerita rakyat telah menimbulkan dendam kesumat bagi masyarakat Sunda. Itulah salah satu alasan, mengapa di kota-kota Jawa Barat tak pernah dijumpai nama Majapahit. Apalagi Gajah Mada yang dianggap biang kerok tragedi Bubat. 

Maka dalam konteks kekinian, perlu upaya nyata agar generasi muda menyikapi cerita rakyat ini dengan bijak dan cerdas.  Peristiwa sejarah, sepahit apapun memang tak bisa dilupakan. Namun, generasi milenial tidak boleh terjebak dalam dendam masa lalu. Terbelenggu oleh kebencian secara terus menerus tanpa penah putus.

Tidak berlebihan kiranya jika beberapa waktu yang lalu, Gubernur Jawa Timur, Gubernur Jawa Barat, Sultan Yogyakarta memberikan teladan agar kita semua bisa memahami bahwa cerita Perang Bubat tak lebih sebagai bagian perjalanan bangsa. Terpenting adalah generasi muda bisa memaafkan peristiwa tragis yang terjadi (jika memang itu nyata sebagai peristiwa sejarah), sehingga kita tidak terkungkung oleh masa lalu.

Dari disitulah sekarang mulai bermunculan Jl Siliwangi dan Jl. Sunda di kota-kota di Jawa Tengah dan Timur. Serta muncul pula nama Majapahit serta Gajah Mada di Jawa Barat.  Ini sebagai pijakan awal melunturkan dendam dan membangun kesatuan.

Epilog

Begitulah,  ternyata memang  ada cerita rakyat yang dikarang (ya memang dikarang dan ditulis) dengan tujuan-tujuan untuk menyesatkan atau memecah belah. Tidak mengajarkan nilai-nilai kebaikan tapi malah sebaliknya. Jika, cerita-cerita yang demikian ini berkembang di masyarakat, tenunya sangat berbahaya bagi generasi selanjutnya.  

Seburuk apapun cerita Perang Bubat, masih terdapat pesan moral agar kita semua tetap mengedepankan kejujuran, menghindarkan diri jadi seorang pengkhianat. Malah,  jangan jadi manusia yang bisanya hanya memprovokasi atau membangun konspirasi untuk menjatuhkan orang/ kelompok lain. Karena akibat semua itu adalah dendam kesumat yang berkepanjangan tiada putus. Mari belajar dari tragedi...... Perang Bubat.

Itulah Diary dari masa lalu yang perlu kita ambil hikmahnya........

Kaki Welirang, 10 Januari 2021 21:50 WIB

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun