Kami berenam melangkah, disambut nameboard "Selamat Datang". Lalu beriringan menapaki jalan desa berlapis baru koral. Tonjolan-tonjolan mungilnya, lumayan untuk akupresur telapak kaki.
Di kanan-kiri jalan, dibatasi tanaman Kemuning yang sedang berbunga. Mekar berwarna Kuning. Benar kata orang, tempat ini bersih. Sepanjang kaki melangkah nggak ketemu sampah. Termasuk sampah guguran daun kering.Â
Lima puluh meter berjalan, tiba di pertigaan. Pilihannya, ke kiri bawah atau naik ke kanan atas. Jalan desa membujur Utara dan Selatan, membelah rumah-rumah penduduk jadi dua sisi berderet. Di tempat ini kami disapa beberapa penduduk desa yang begitu ramah. Ditunjukkan arah mana saja yang bisa kami tuju.Â
"Kalau ke bawah sana, ada Karang Memadu. Tempat tinggal warga yang berpoligami, " kata pak Wayan salah satu penduduk yang ketemu saya.. Penduduk Desa Penglipuran yang menikah lebih dari satu harus tinggal di sana. Terpencil di pojok desa, terang beliau.Â
"Di atas sana, terdapat Pura Penataran dan Hutan Bambu, " lanjut Pak Wayan, sambil tangannya menunjuk ke tempat lebih tinggi di arah Utara.Â
Saya dan teman-teman manggut-manggut saja mendengarkan cerita beliau.
Saya melihat sekeliling. Ada sebuah menara tempat meletakkan kulkul (tempat menggantungkan kentongan besar) di sisi kiri. Termasuk bale-bale panjang, tersusun dari kerangka kayu dan bambu. Dibuat tanpa dinding dan beratap ijuk. Fungsinya sebagai Balai Banjar Adat, kalau saya lihat di peta desa.
Beri Komentar
Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!