Saya sempat bergidik mendengarnya. Mengingat kaki kiri saya masih sakit akibat terjungkal saat main badminton beberapa bulan lalu. Sembari berdoa, saya perlahan menuruni tangga batu/semen yang lebarnya tak lebih dari 1,5 meter. Menuju lembah. Diikuti Pak Yon, Pak Said, Pak Gun, Pak Budi dan Pak Ali.Â
Tangga dibuat berkelak kelok. Di bagian yang curam dibuatkan pegangan dari pipa besi. Di tempat yang tanahnya datar, di kanan kiri jalan dibangun warung kecil dan toko souvenir khas Bali. Setelahnya, terhampar sawah berteras yang sebagian sudah panen. Lainnya, padinya mulai menguning.
Di ujung tangga terbawah mendekati sungai saya jumpai hal unik. Dulu, sepertinya untuk mencapai bibir sungai, terhalang batu cadas yang besar. Maka, tangan-tangan perkasa pun dikerahkan untuk mengepras batu tersebut sehingga terbelah membentuk celah besar.
Dari celah itulah saya dan rombongan memasuki sebuah pelataran sempit di pinggir Sungai Pakerisan, lokasi Candi Gunung Kawi beradaÂ
Candi TebingÂ
Melewati ujung tangga saya berbelok ke kiri, mengikuti papan petunjuk. Saya membayangkan akan menemukan candi seperti yang sering saya jumpai di Jawa. Eh... ternyata ini beda sama sekali.Â
Di depan saya tidak ada candi gaya Jawa Timuran, gaya Jawa Tengahan ataupun prototipe candi punden berundak. Ternyata, Bali punya gaya candi tersendiri.