Terpahat di dua tebing yang saling berhadapan, terbelah oleh Sungai Pakerisan yang berair jenih, dilengkapi dengan ceruk-ceruk tempat semedi untuk para pujangga dan pertapa, menjadikan Candi Gunung Kawi begitu eksotis. Tinggalan arkeologi dari Anak Wungsu, Raja Bali saudara kandung Airlangga yang menjadi raja di Jawa ini sangat unik dan mengesankan. Tak pernah dijumpai candi model seperti ini di seantero Jawa!
Candi Gunung Kawi terletak di Gianyar Bali. Ini bukan Gunung Kawi di Kabupaten Malang yang begitu melegenda di Jawa Timur! Kalau Gunung Kawi Malang -sering disebut Pesarean Gunung Kawi- memang sangat terkenal di kalangan awam, pengusaha sampai lingkaran pejabat.Â
Di Pesarean Gunung Kawi Malang ini, pada saat tertentu, terutama di malam Jum'at Legi dan awal bulan Suro (dalam penanggalan Jawa) akan penuh lautan manusia. Baik pengunjung biasa maupun penziarah.Â
Ada yang berziarah untuk memanjatkan dan mengirim doa-doa kebaikan. Ada juga yang "ngalap berkah". Bahkan, tersedia pula Ciam Si, tradisi ramalan kuno untuk meramal nasib, yang familiar di kalangan etnis Tionghoa.Â
Paling aneh, ada pengunjung atau penziarah yang sengaja datang ke Pesarean Gunung Kawi untuk berburu daun pohon Dewandaru yang jatuh secara alami dan membawanya pulang, karena yakin akan membawa "pesugihan". Kapan-kapan saya tulis tersendiri ya....
Tiba di Candi Gunung Kawi
Sekitar pukul 09.00 WIT, rombongan kecil saya tiba di Banjar Penaka, Desa Tampaksiring, Kabupaten Gianyar. Setengah jam yang lalu, kami meninggalkan Desa Adat Panglipuran, Desa Kubu, Kabupaten Bangli.Â
Jaraknya tidak terlalu jauh dari Tampaksiring. Dipandu aplikasi Waze, saya dan rombongan meninggalkan Desa Adat Panglipuran, desa terbersih di Indonesia. Kendaraan melaju di jalan kabupaten yang mulus.Â
Mulanya menembus Hutan Bambu yang lebat. Masuk ke Jalan Purasti yang lengang. Lalu melewati kawasan persawahan dan kebun penduduk di kiri kanan.Â
Jalannya naik turun berliku. Tidak terlalu curam. Hanya menyesuaikan dengan kontur tanah disekitarnya. Tak lama, tiba di sebuah pertigaan. Ke kanan, naik ke Kintamani. Saya pilih belok kiri yang jalannya menurun.
Baca:Â Tirta Empul, Sisi Lain Bali Nan Menawan
Sepuluh menit turun dari pertigaan, kami tiba di Pura Tirta Empul. Sekilas, dari balik kaca mobil saya lihat suasana masih sepi. Karena sudah pernah ke sana, kami tak berhenti.Â
Kendaraan pun dipacu menyusuri jalan yang masih lengang. Kendaraan bercat hitam tetap melaju lancar tanpa hambatan. Setelah menempuh perjalanan sekitar 30 menit, sejak berangkat dari Panglipuran, kami berenam tiba di depan gerbang Bentar Candi Gunung Kawi.Â
Alhamdulillah, akhirnya sampai juga di lokasi dimana salah satu cagar budaya Pulau Bali yang cukup istimewa bertahta. Sudah lama saya berangan-angan mengunjunginya. Karena sebelumnya sudah pernah berkunjung ke cagar budaya Bali yang juga istimewa: Pura Tirta Empul dan Goa Gajah.
Tentunya, belum lengkap jika tak berkunjung ke Candi Gunung Kawi, peninggalan arkeologi dari zaman klasik yang erat kaitannya dengan raja jawa di abad 11.Â
Baca :Â Goa Gajah, Sisi Lain Bali Nan Menawan 2
Setelah membayar tiket @35 ribu/orang, saya bergegas memasuki gapura Bentar Candi Gunung Kawi. Disambut dua orang berkain panjang dan berudeng (penutup kepala) khas Bali.Â
Mereka mensyaratkan pengunjung harus memakai kain sewek/kain jarik sebelum menuruni tangga menuju candi. Saya ambil kain jarik bermotif kotak dan bercorak warna ungu. Selain warnanya menggoda, kondisinya juga nggak terlalu kumal dan kotor.Â
"Ada 315 anak tangga untuk sampai di lokasi. Nanti, candinya ada di pinggir sungai," terang petugas.Â
Saya sempat bergidik mendengarnya. Mengingat kaki kiri saya masih sakit akibat terjungkal saat main badminton beberapa bulan lalu. Sembari berdoa, saya perlahan menuruni tangga batu/semen yang lebarnya tak lebih dari 1,5 meter. Menuju lembah. Diikuti Pak Yon, Pak Said, Pak Gun, Pak Budi dan Pak Ali.Â
Tangga dibuat berkelak kelok. Di bagian yang curam dibuatkan pegangan dari pipa besi. Di tempat yang tanahnya datar, di kanan kiri jalan dibangun warung kecil dan toko souvenir khas Bali. Setelahnya, terhampar sawah berteras yang sebagian sudah panen. Lainnya, padinya mulai menguning.
Di ujung tangga terbawah mendekati sungai saya jumpai hal unik. Dulu, sepertinya untuk mencapai bibir sungai, terhalang batu cadas yang besar. Maka, tangan-tangan perkasa pun dikerahkan untuk mengepras batu tersebut sehingga terbelah membentuk celah besar.
Dari celah itulah saya dan rombongan memasuki sebuah pelataran sempit di pinggir Sungai Pakerisan, lokasi Candi Gunung Kawi beradaÂ
Candi TebingÂ
Melewati ujung tangga saya berbelok ke kiri, mengikuti papan petunjuk. Saya membayangkan akan menemukan candi seperti yang sering saya jumpai di Jawa. Eh... ternyata ini beda sama sekali.Â
Di depan saya tidak ada candi gaya Jawa Timuran, gaya Jawa Tengahan ataupun prototipe candi punden berundak. Ternyata, Bali punya gaya candi tersendiri.
Raja Bali, Marakata dan Anak Wungsu, sebagai penguasa Bali di abad 10-11 membangun candi dengan cara dan gaya berbeda. Sangat menarik dan unik.Â
Menarik, karena tidak ada susunan bata merah atau batu andesit yang tersusun tegak. Berbeda jauh dengan candi di Jawa. Unik, lantaran dibangun dengan memahat tebing batu! Sepintas akan tanpak seperti "pintu masuk-keluar".
Terhamparnya sosok Candi Gunung Kawi di depan saya, membawa angan saya melanglang ke zaman lampau. Terbayang para pekerja bersusah payah mengepras tebing batu.Â
Bagian tebing batu di sisi Barat Sungai Pakerisan (menghadap ke Timur) diratakan secara vertikal. Tentunya banyak bagian tebing berupa pecahan batu yang dibuang. Lalu dibuat pelataran sempit dibekas tebing yang sudah dikepras.
Berikutnya, di tebing sudah rata vertikal dibuat ceruk sebanyak 4 buah. Maka, setelah itu baru para silpin (pembuat candi) mulai memahat "isi" ceruk membentuk candi. Mulai dari membentuk kaki, tubuh dan atap candi. Tak heran, orang Bali menyebut candi ini sebagai Candi Tebing Gunung Kawi. Gunung artinya gunung. Kawi artinya memahat. Jadi, Gunung Kawi memiliki makna: memahat tebing (gunung) untuk membuat candi.Â
Selain empat candi berciri Hindu di sisi Barat yang menghadap ke Timur (arah Sungai Pakerisan), di posisi agak ke Selatan terdapat satu candi lagi. Jadi ada 5 candi di sisi Barat sungai.Â
Dari papan nama, kompleks candi di sisi Barat ini bernama Candi Prasadha Ukir. Sedangkan Candi Tebing Gunung Kawi sendiri lebih merujuk ke candi di sisi Timur Sungai Pakerisan.Â
Candi yang dibangun di sisi Timur Sungai Pakerisan agaknya lebih istimewa lagi. Jumlahnya juga lima buah. Dibangun di tebing yang agak tinggi dari tebing di sisi Barat. Seakan kedua candi ini saling berhadapan. Secara fisik, konstruksi candi di kompleks Candi Gunung Kawi ini hampir sama. Khusus yang di sisi Timur, terdapat pahatan-pahatan huruf kuadrat dari zaman Kediri Jawa Timur, yang memberi informasi sangat penting bagi para arkeolog.Â
Karena sudah berusia lebih dari 1000 tahun, kondisi pahatan candi di kompleks ini nampak mulai aus. Terpaan sinar matahari, guyuran hujan serta sifat higroskopis tebing batu yang menjadikan kondisi candi seperti ini. Namun, secara umum bentuk asli dari candi tebing masih nampak.Â
Untuk mencapai kaki candi, tepat di tengah-tengah pelataran dan batur candi, dibangun tangga naik terbuat dari batu andesit untuk menuju ke deretan candi tebing.Â
Tinggalan arkeologis lain yang multitafsir dikalangan arkeolog adalah adanya ceruk-ceruk lebar di dekat pahatan candi. Para arkeolog memperkirakan bahwa ceruk-ceruk itu digunakan oleh para biarawan Budha untuk bertapa/ semedi.Â
Ada pula yang berpendapat itu adalah tempat tinggal para Kawi, pujangga kerajaan yang bertugas menjaga dan merawat kitab suci.
Saya sangat terkesan dengan imajinasi para pembangun candi yang memilih tempat ini untuk memahat candi. Tentunya, tidak sembarang tempat dipilih untuk membangun tempat suci dan tempat pemujaan untuk para leluhur.Â
Marakata yang kemudian diteruskan Anak Wungsu, sebagai adik Airlangga (putra tertua Udayana) memilih lokasi yang terdapat sungai dan sumber-sumber air untuk membangun tempat suci.Â
Air dalam ritual Hindu sangat erat kaitannya dengan amerta (air suci). Memilih tebing batu yang memiliki arah hadap ke Timur dan ke Barat, tentunya semua itu ada pertimbangan secara keagamaan.
Muncul beragam pertanyaan. Mengapa Marakata dan Anak Wungsu sebagai putra Udayana membangun candi dengan memahat tebing? Tidak menggunakan susunan batu andesit. Seperti Airlangga (saudaranya) yang hidup sezaman tapi di tanah Jawa, yang membangun Partirtan Jolotundo di lereng Barat Pawitra, Gunung Penanggungan memanfaatkan batu-batu gunung yang dibentuk persegi panjang. Lalu, di kompleks Candi Gunung Kawi ini, saya juga tidak menjumpai arca-arca perwujudan maupun arca dewa yang lazim dijumpai di candi-candi tanah Jawa.
Begitulah, keberadaan Candi Tebing Gunung Kawi bagi saya begitu unik dan eksotis, sekaligus menyisakan sejuta tanda tanya yang perlu dicari jawabnya. Saking asyiknya berkeliling di tempat ini, sampai lupa kalau kaki saya masih belum sembuh 100%.Â
Segera saya mengambil tempat di pojok yang teduh untuk duduk sejenak. Mengistirahatkan otot-otot kaki. Serta membasuh peluh yang mulai jatuh, lantaran matahari mulai meninggi.Â
Tak hanya turis blusukan seperti saya yang terpesona dengan candi ini. Satu demi satu turis mancanegera pun mulai berdatangan. Silih berganti berombongan. Menyebar di setiap sudut. Sesekali mengambil gambar dan bergumam: wonderful!
Artikel berikutnya:
Eksotisnya Valley of The King: Menyatunya Candi, Pura dan Patirtan di Candi Gunung Kawi.Â
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H