Mohon tunggu...
Abdul Adzim Irsad
Abdul Adzim Irsad Mohon Tunggu... Dosen - Mengajar di Universitas Negeri Malang

Menulis itu menyenangkan.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Full Days School dan Pernyataan Bidah Yunahar Ilyas

21 Juni 2017   12:54 Diperbarui: 21 Juni 2017   13:04 591
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Nah, sekarang membincangkan Sabilillah. Kyai Tholah Hasan itu memiliki gagasa cemerlang, seputar pendidikan dasar. Beliau melihat bahwa Masjid Sabilillah itu ada ditenggah kota Malang. Dimana sebagian besar penduduk Kota Malang itu sibuk dengan pekerjaan, baik sebagagi pejabatr pemerintah, dosen, dokter, rector, DPR, wali kota, tokoh masyarakat, baik dari kalangan NU, Muhamamdiyah, dan tokoh lainya.

Maka, Kyai Tholhah menangkap, bahwa Sabilillah itu harus memberikan solusi masyarakat perkoatan yang disibukan dengan pekerjaan dan tugasnya. Maka, dibuatlah SDI Sabilillah yang berbasis di Masjid Sabilillah dan Full Days School.

Kyai Marzuki Mustamar semua putra-putrinya sekolah di Sabilillah, beliau pernah berkomntar "saya puas menyekolahkan anak saya di Sabilillah". Seorang pengusaha Garmen yang bernama Sahrul pernah menyampaikan "putri saya sekolah di Sabilillah, aklaknya bagus, dan sudah pinter ngaji Al-Quran, rajin puasa senin kamis dan juga rajin sholat malam, karena memang mendapatkan bimbingan di sekolah". Seorang Konsultan Pajak yang bernama Abu Bakar juga menyekolahkan putra-putranya di Sabilillah dengan alasan yang sama.

Hendro Kartiko kipper timnas juga menyekolahkan putrinya di Sabilillah, alasanya juga sama, yaitu "anak saya sudah terbiasa menjaga sholat dan bisa ngaji Al-Quran". Bahkan putranya menteri pendidikan Muhajir dulu sekolah di SDI Sabilillah. Maka, hamper semua elemen masyarakat meningingkan putra-putrinya sekolah di Sabilillah, dengan alasan "ngaji dan sholat 5 waktu terbiasa".

Dhuhur dan Ashar menjadi pemandangan yang menarik, dimana semua anak anak SD, harus sholat terpisah dan berkelompok. Salah satu dari mereka menjadi Imam, sekaligus latihan sholat berjamaah dan membaca bacaan sholat dengan baik, benar dan fasih. Ini sebenarnya pendidikan Diniyah yang sesungguhnya. Maka, orangtua merasa bangga ketika putranya menjadi bagian dari Sabilillah.

SDI Sabilillah, menyatukan pendidikan Diniyah dan Formal dalam bentuk FDS (Full Days School). Bisa membaca Al-Quran dengan baik dan benar, sholatnya bagus dan terbiasa berjamaah, dan selalu memulyakan guru dan orangtua, merupakan dasar pendidikan karakter. Itu bisa ditemukan di Sabilillah. Maka, berapa-pun biayanya, orangtua tidak akan menghitunnya. Karena ketika melihat putra-putrinnya baca Al-Quranya bagus, sholatnya bagus, ahlaknya bagus, maka itu sudah tercapai tujuan pendidikan yang sesungguhnya.

Pagi hari, pada pukul 0.60 di atar kesekolah, jam 16.00 pagi orangtua yang baru pulang dari kerja bisa sekalian menjemputnya. Apalagi, halaman parker Masjid Sabilillah sangat luas, memudahkan bagi orangtua menjemput dengan menggunakan mobil. Di dalam mobil itulah interaksi orangtua dan anak terbangun. Sang anak sambil menceritakan pengalaman belajar dan ngajinya selama 8 jam di sekolah dan di Masjid Sabilillah.

FDS Sabilillah itu sudah ideal, karena memang semua sarana dan prasana mencukupi. Gedungnya bagus dan ideal, tempat ibadah yaitu masjid tempat membangun karakter siswa juga sangat bagus, halaman luas, bisa untuk bermain dan berlari. Tempat parkir mobil dan motor juga sangat luas. Tempat wudhu juga sangat luas dan bersih. Dengan demikian, biaya yang harus di keluarkan sangatlah besar. Guru itu bukan saja mengajar di kelas, tetapi juga menjadi pembimbing sholat fardu, sunnah, serta mengajarkan agama serta nilai-nilainya.

Sangat tepat Full Days School bagi masyarakat kota Malang yang memang secara ekonomi sudah mapan. Kemudian sebagian orangtua yang sibuk bekerja dengan beragam profesi, tidak bisa memberikan pendidikan kepada putra-putrinya secara utuh. Nah, itung-itung juga menitipkan putra-putrinya di FDS, sehingga bisa mendapatkan pendidikan agama dan ahlak sekaligus, serta tidak ketinggalan pendidikan akademis. Dari pada hidup di rumah bersama pembantu.

Jadi FDS itu sangat tepat bagi masyarakat pekotaan. Tetapi kurang pas untuk masyarakat pedesaan atau kampong. Sedangkan masyarakat pedesaan itu jauh lebih besar prosentasenya di bandingkan masyarakat Kota. Orang miskin dan mlarat itu jauh lebih banyak. Maka, FDS sangat tidak tepat jika diterapkan di Kampung dan pedesaan.

Banyak sekali SD di seluruh pelosok Nusantara yang jauh di bawah standard, mulai gedung, guru, sarana-sarana yang lain juga terbatas. Apalagi pesantren di seluruh Nusantara, yang mewajibkan sekolah pada siang hari, dan setelah ashar harus sekolah Diniyah dengan materi keagamaan, seperti; Nahwu, Sharaf, Fikih, Hadis, Tauhid, dan Al-Quran. Guru SD, diminta mengajar ilmu ilmu di atas, bisa mati mendadak. Sekali lagi, FDS itu tepat untuk masyarakat perkotaan, dan tidak layak untuk masyarakat pedesaan dan pesantren.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun