Lucunya lagi, yang suka menyebut nama ibuku itu, adalah anak yang sudah tak punya ibu lagi alias piatu.Â
Aku tak sampai hati membahas itu sebagai balasan penghinaannya, tapi dia begitu semangat menyebut gelar Mamak setiap berpapasan denganku.
"Balas 'puntung', setiap dio bilang 'Lek Min'," saran kakakku.
Aku tak tau persis maksudnya, tapi hal itu kulakukan. Ajaib! Sejak aku menyebut kata "puntung" sebagai balasan ucapannya, A tak pernah menyebut gelar Mamak lagi. Ekspresinya nampak tercengang waktu kusebut kata itu.Â
Ingin kukejar terus ia, sambil mengulang kata itu agar tertanam di kepalanya, dan sakit hatiku terbalas berkali lipat. Namun begitu tau pasti apa yang terjadi di balik kata itu, kuurungkan niat.
Ternyata ayah si A mengalami kebuntungan (puntung) karena ketahuan mencuri. Kisah yang kudengar dari mulut ke mulut, si pemilik rumah memukulkan parangnya pada tangan ayah A saat tangan itu muncul dari jendela hendak merogoh ke dalam.
Kuceritakan kisah di atas pada anak-anak. Hanya sebagai bahan nostalgia saja, karena mereka pun suka mendengar kisah-kisah masa kecilku. Siapa sangka, kisah ini di kemudian hari menjadi inspirasi si adek yang biasanya lebih suka pulang membawa kemurungan setelah dibully teman-teman di luar.
"Puas adek, Mek!" adunya ketika pulang dari lapangan.
"Kenapo?"
"Kan Bang E sering nian ngejek Adek. Tadi dio bilang Adek (aku lupa apa yang dijadikan bahan hinaan waktu itu). Sakit nian hati Adek, dak tahan lagi rasonyo. Jadi Adek teriak, 'Oi E, kau tu gendut. Diamlah!'"
Aku tertawa. Antara tidak setuju ia melakukan body shaming, tapi cukup lega karena akhirnya ia bisa membela diri.