Nantinya kakakku ini akan menghajar orang yang menggangguku, sebagaimana yang biasa ia lakukan pada anak-anak laki-laki yang kerap mengganggu kakakku. Tapi aku tak pernah melakukannya. Sebab kakak perempuan pertama yang sepertinya punya beban hidup lebih banyak, jengkel jika mendengar laporan adik-adiknya saat pulang sekolah.
"Diejek balas ejek, dipukul balas pukul. Dak bisa mukul, cari batu. Lempar!" begitu pesan si kakak yang masih membekas hingga sekarang.
Ngawur? Mungkin. Tapi tips darinya kurasa lebih praktis ketimbang membawa pulang tangisan lalu mengadu pada kakak laki-laki yang terus membantah ucapan kakak perempuan tadi. "Dak usah," pesannya. "Kadu ke Kakak bae!"
Mamak seperti biasa, memberi jalan tengah yang membuatku justru merasa tak berdaya diperlakukan buruk oleh orang lain. "Sabar bae, biarlah Allah yang membalasnyo."
Sebagai anak-anak, aku merasa Allah terlalu lama membalas sakit hatiku. Saat dewasa aku justru tambah yakin, Mamak malah membuatku kehilangan harga diri. Tak mampu menolong diri sendiri, memenangkan nafsu orang lain untuk terus menghina dan merendahkan.Â
Walaupun di mata orang dewasa, hinaan itu tak ada apa-apanya. Tapi bagi jiwa kanak-kanakku, itu sungguh menyakitkan.
Rokku pernah dicoret kakak kelas menggunakan kapur tulis, aku diam saja. Bapakku disebut-sebut, aku diam, sementara orang-orang ramai tertawa. Asli, pengin kulempar granat mereka!Â
Kepalaku dipukul dengan topi oleh cucu kepala sekolah, dilecehkan dengan kata-kata kotor, dan berbagai kejahatan yang di mata orang hanya 'ah, biasalah anak-anak', kenyang kurasakan di usia awal SD dulu.
Baca juga:Â 7 Ciri Anak Berbohong
Nostalgia Perlawanan
"Yuk, setiap Tari ketemu A, pasti dio bilang, 'Lek Min'," aduku pada kakak pertama.
Aku sendiri tidak tau kenapa orang sering menyebut Mamak dengan nama itu, padahal nama asli beliau tidak sedikit pun menyentuh kata "min". Sementara Lek adalah kata sapaan biasa untuk suku Jawa. Namun dua kata itu begitu menyebalkan jika disampaikan dengan nada dan ekspresi yang menghinakan.