Baru kemarin komplain, sekarang sudah komplain lagi. Meski Wangi adalah sahabatku sejak lama, sungkan saja rasanya melaporkan hal yang tidak kulihat langsung. Apalagi Wangi tidak bertugas di bagian keperawatan. Ia kepala keuangan.
Kali itu aku mengiyakan, namun tanpa berjanji. Aku berniat menyampaikan keluhan itu kapan-kapan. Kalau ingat.
Besoknya, senior menelepon lagi. Ia bercerita tentang perawat yang sering lupa menutup pintu, atau menutup pintu tidak pelan-pelan. Sebelum pembicaraan berakhir, sempat ia tanya apakah komplain yang kemarin sudah disampaikan?
Entah jujur entah bohong, aku lebih suka menyebutnya siasat. Kukatakan bahwa aku lupa, nyatanya aku memang lupa, karena niat awalnya begitu. Tak kehabisan akal, ia memintaku mengirim kontak Wangi ke nomornya.
Karena pada dasarnya seniorku dan Wangi sudah saling kenal, maka kupenuhi permintaannya. Nomor Wangi kukirim pada senior, dengan lebih dulu mengabari Wangi. Siap-siap, dia bakal komplain!
Beberapa hari berlalu, seniorku sembuh. Di kantor ia menceritakan apa yang sudah diceritakannya saat menelepon, dan saat aku dkk menjenguk ketika ia masih dirawat. Tentang perawat yang terlalu sering datang ke ruangannya, tentang pintu yang berisik, dan perawat yang datang saat dipanggil tapi seperti ogah-ogahan.
Selang beberapa hari, aku dan Wangi makan bareng di suatu tempat. Wangi geleng-geleng ketika menceritakan bagaimana banyaknya komplain yang disebutkan seniorku. Dan bagaimana muaknya teman-teman perawat menghadapi pasien banyak minta yang tak lain adalah si kakak itu.
"Manggil terus, protes terus. Sampe jolak-jolakan (dorong-dorongan) anak-anak tu kalau bel dari ruang tu bunyi. Kau be lah, kau be lah!" tutur Wangi padaku, menirukan adegan di rumah sakit.
Perawat Jutek
Saat aku hendak bertemu dokter kandungan pada kehamilan kedua, tujuh tahun lalu, seorang perawat memanggil untuk cek tensi. Aku duduk di sebelahnya, mengulurkan tangan.
"Dekat sini lagi, Mbak!" katanya. Nadanya ketus, tapi kuabaikan.