Warganet memberi nama untuk Jason Tjakrawinata, tersangka penganiayaan perawat RS Siloam Sriwijaya, Palembang, yang videonya viral beberapa hari lalu. Gelar yang diberikan lebih kurang sama dengan gelar-gelar yang diberi pada "tokoh-tokoh viral" lainnya.
Kang Jambak, itulah panggilannya. Dulu ketika ada tukang ojek yang pura-pura kehabisan bensin lantas mendorong motor untuk mencari simpati, tokoh ini disebut Kang Dorong. Dan masih ada lagi sebutan lain dengan awalan Kang, yang mula-mula sepertinya dilekatkan pada tenaga kurir; Kang Paket.
Tapi bukan gelar baru mereka yang hendak kubahas, melainkan kejadian yang agak mirip yang pernah kualami terkait hubungan perawat dan pasien di sebuah rumah sakit.
Pasien Bawel
Seorang senior di kantor dilarikan ke rumah sakit karena tifus. Sampai beberapa hari ia menginap di ruang VIP karena penyakitnya. Dalam beberapa hari itu pula ia bolak-balik meneleponku.
"Tari, si Wangi masih kerjo di Jedah, kan?" tanyanya. Wangi dan Jedah adalah nama samaran untuk sahabatku dan RS tempat ia bekerja.
"Masih, Kak."
"Tolong bilang ke dia, perawat sini kok lambat nian geraknya. Kakak manggil dari tadi, nunggu lama baru datang."
Baca juga: Anak Bawang yang Dibuang
Aku pun berjanji menyampaikan keluhannya. Meski aku tau, biasanya sebelum pulang pasien akan diberi lembar angket untuk diketahui berbagai pesan dan kesan selama dirawat di sana. Lebih cepat lebih baik, pikirku. Maka langsung kuhubungi Wangi untuk menyampaikan hal tadi. Wangi berterima kasih atas laporanku, dan berjanji akan menyampaikan pada kepala perawat.
Besoknya, senior yang masih dirawat menelepon lagi. Ia menceritakan perawat yang kerap datang di malam hari untuk menyuntikkan obat, padahal ia tengah beristirahat. Dengan pesan yang sama, tolong sampaikan ke Wangi.
Baru kemarin komplain, sekarang sudah komplain lagi. Meski Wangi adalah sahabatku sejak lama, sungkan saja rasanya melaporkan hal yang tidak kulihat langsung. Apalagi Wangi tidak bertugas di bagian keperawatan. Ia kepala keuangan.
Kali itu aku mengiyakan, namun tanpa berjanji. Aku berniat menyampaikan keluhan itu kapan-kapan. Kalau ingat.
Besoknya, senior menelepon lagi. Ia bercerita tentang perawat yang sering lupa menutup pintu, atau menutup pintu tidak pelan-pelan. Sebelum pembicaraan berakhir, sempat ia tanya apakah komplain yang kemarin sudah disampaikan?
Entah jujur entah bohong, aku lebih suka menyebutnya siasat. Kukatakan bahwa aku lupa, nyatanya aku memang lupa, karena niat awalnya begitu. Tak kehabisan akal, ia memintaku mengirim kontak Wangi ke nomornya.
Karena pada dasarnya seniorku dan Wangi sudah saling kenal, maka kupenuhi permintaannya. Nomor Wangi kukirim pada senior, dengan lebih dulu mengabari Wangi. Siap-siap, dia bakal komplain!
Beberapa hari berlalu, seniorku sembuh. Di kantor ia menceritakan apa yang sudah diceritakannya saat menelepon, dan saat aku dkk menjenguk ketika ia masih dirawat. Tentang perawat yang terlalu sering datang ke ruangannya, tentang pintu yang berisik, dan perawat yang datang saat dipanggil tapi seperti ogah-ogahan.
Selang beberapa hari, aku dan Wangi makan bareng di suatu tempat. Wangi geleng-geleng ketika menceritakan bagaimana banyaknya komplain yang disebutkan seniorku. Dan bagaimana muaknya teman-teman perawat menghadapi pasien banyak minta yang tak lain adalah si kakak itu.
"Manggil terus, protes terus. Sampe jolak-jolakan (dorong-dorongan) anak-anak tu kalau bel dari ruang tu bunyi. Kau be lah, kau be lah!" tutur Wangi padaku, menirukan adegan di rumah sakit.
Perawat Jutek
Saat aku hendak bertemu dokter kandungan pada kehamilan kedua, tujuh tahun lalu, seorang perawat memanggil untuk cek tensi. Aku duduk di sebelahnya, mengulurkan tangan.
"Dekat sini lagi, Mbak!" katanya. Nadanya ketus, tapi kuabaikan.
Aku pun mendekat.
"Sini lagi!" nadanya makin tinggi. Aku mulai tak enak.
Si kakak yang saat itu ikut, asyik bermain di tangga. Ia naik di anak tangga, kemudian merosot di pinggir (bukan di pegangan tangga). Masih aman, tidak terlalu tinggi dan abinya juga ada di sana.
"Nakal nian anak tu, dak biso diam dari tadi!" katanya pada teman di sebelah.
Kupandangi ia, sengaja dengan wajah tak suka. Sudah bersiap, kalau bunyi lagi biar kutempeleng sekalian. Aku bisa sabar jika dikasari, tapi jangan anakku!
Kemudian ia mengalihkan topik, sepertinya sadar dalam bahaya. "Dio tu mati dak, dari tadi dak datang-datang!" entah siapa yang ia maksud, tapi ucapan-ucapannya selama pembicaraan yang lebih banyak tak digubris temannya itu, menunjukkan betapa buruk dia hari itu.
Ketika sudah giliranku masuk ke ruang periksa, perawat itu mengikuti. Ternyata ia juga yang bertugas membantu dokter di dalam, setelah mengukur tensi di luar. Ada dua perawat lain, yang satu mengabsen di luar, yang tadi ia ajak bicara. Satu lagi standby bersama dokter di dalam.
Ketika mengarahkanku untuk USG, kembali gerak-geriknya yang kurang baik itu ditampilkan. Suamiku yang ikut masuk tak segan-segan menegurnya. Sambil memeriksa, ia berkata bahwa neneknya adalah bidan di rumah sakit itu, hal yang tak ada urusannya denganku.
Aku lupa karena apa, dokter kemudian menyarankanku untuk dirawat. Ada gangguan kesehatan yang dikhawatirkan memengaruhi janin. Malam itu pun aku masuk ke salah satu kamar, yang di sana kami berdiskusi tentang sikap si perawat.
Baca juga: Ketika Si Kakak Flek Paru
Ternyata suamiku sejak awal sudah melihat tingkahnya, termasuk saat ia melihat pada si kakak dengan wajah tak suka. Kalau saja saat itu anak kami melihat, mungkin hilang selera mainnya. Suami juga mendengar ketika perawat menghardikku untuk lebih dekat, itulah sebab ketika di dalam ia langsung menegur, tak ingin melihat sikap yang lebih buruk lagi.
Ketika kuceritakan tentang pengakuannya punya nenek di RS tersebut, suamiku malah makin meradang. "Neneknya kerja di sini juga, bukan yang punya rumah sakit!" katanya.
Kupikir masalah selesai sampai di situ. Toh kata dokter paling lama tiga hari aku di sana, malah kemungkinan bisa pulang besok sore. Jadi tak usah terlalu ambil pusing soal perawat jutek, yang waktu itu kutebak sedang PMS.
Ternyata suami tak puas. Ia sebal melihat anak dan istrinya diperlakukan tak layak. Besoknya, pagi-pagi sekali perawat itu datang ke kamarku, meminta maaf pada kami berdua. Apa yang terjadi?
Rupanya, diam-diam suami menemui direktur rumah sakit. Ia menceritakan semua kejadian yang kami alami. Tak ada teriakan, tak perlu baku hantam. Perawat itu belum lagi pulang ke rumah, namun ia diwajibkan oleh atasannya untuk meminta maaf pada kami, atau tak usah datang lagi malam nanti. Sekalian sama neneknya!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H