"Kalau jadi bendahara, harus punya buku atau minimal kwitansi pribadi. Walaupun dari kantor gak disuruh, pokoknya kita harus punya catatan sendiri. Setiap keluar duit, suruh yang nerima tanda tangan!" entah siapa yang berpesan ini, aku lupa sama sekali. Tapi ucapannya masih kukenang bahkan jauh setelah tidak berurusan dengan uang milik kantor mana pun lagi.
Sebuah kejadian di masa lalu lumayan membingungkan untuk diambil kesimpulan, namun tetap bisa diambil pelajaran. Simak tenang-tenang, ya!
Aku pernah bekerja di sebuah sekolah sebagai kasir yayasan. Sekolah ini terdiri dari Rumah Balita, Kelompok Bermain, TK, SD, dan SMP. Suatu hari, dalam rangka tahun ajaran baru, seorang wali murid diantar oleh wali kelas TK untuk mencari informasi terkait SD di sekolah yang sama.
Saat itu, di kantor hanya ada aku dan kepala SD. Untuk urusan biaya, tentu aku tau banyak. Tapi program-program sekolah, jelas saja kepseknya lebih tau. Oleh sebab itu, wali murid yang tadinya dihadapkan padaku akhirnya pindah ke meja kepala SD.
Untungnya, wali kelas yang mengantar tidak serta merta meninggalkan kantor. Ia duduk di depan mejaku, menggantikan wali murid yang sudah berpindah tempat. Kenapa untung? Lihat nanti, baca dulu yang sabar.
Baca juga: Anak Bawang yang Jadi Karyawan Tiri
Aku kembali berhadapan dengan Excel di layar komputer, posisi menyamping dari mejaku jika berhadapan dengan wali murid yang hendak melakukan pembayaran. Sementara wali murid tadi mendapatkan penjelasan detail tentang sekolah dari kepsek SD.
Dari perbincangan mereka, terdengar jelas bahwa wali murid tersebut membayar lunas biaya sekolah untuk anaknya yang baru saja tamat dari TK di sekolah yang sama. Tapi baik wali murid maupun kepala SD, tidak ada yang mampir ke mejaku untuk meminta tanda bukti pembayaran.
Karena posisiku membelakangi mereka, otomatis aku tidak tau bagaimana kejadian berikutnya. Hanya saja kepsek kemudian keluar kantor tanpa menyetor uang siswa tersebut padaku.
Berbulan kemudian, ketika aku hendak mengeluarkan tagihan untuk para siswa yang menunggak, nama siswa SD yang aku yakin orangtuanya sudah melunasi biaya sekolah waktu itu, termasuk yang kosong data pembayarannya.
Aku pernah disalahkan wali murid TK saat ia menerima surat tagihan padahal sudah membayar, yang ternyata uang itu nyangkut di guru. Aku diomeli di kantor di depan kepala sekolah, tapi tidak ada yang membela. Semua orang berpikir, karyawan baru, wajar masih salah-salah. Padahal bukan aku yang salah.
Tak ingin kejadian serupa terulang lagi, maka kukonfirmasi soal kosongnya data pembayaran ke kepala SD yang waktu itu menerima pembayaran dari wali murid ybs.
"Kok tanya saya? Kan yang berurusan dengan uang itu kamu," katanya.
"Tapi waktu itu uangnya langsung dibawa keluar, gak disetor," jawabku.
Luar biasa kekeuhnya kepsek, bahwa ia tidak menerima uang siswa dari siapa pun, karena itu bukan wewenangnya. Justru itu yang membingungkanku, tidak berhak menerima uang, tapi kenapa ia bawa uang dari wali murid waktu itu.
"Cek pelan-pelan," katanya lagi, begitu meyakinkan. "Yang kasir siapa, saya gak pernah terima duit. Atau tanya aja ke wali murid itu, siapa tau memang belum bayar."
Karena keyakinannya yang begitu kuat, jadi aku yang ragu. Jangan-jangan memang waktu itu belum bayar, hanya aku yang salah dengar. Iya kalau begitu. Kalau ternyata memang aku pernah nerima uangnya, gimana? Kalau tak salah dengar, wali murid itu membayar lunas loh. Butuh beberapa bulan gaji untuk mengganti biaya masuk sekolah elit itu.
Sedang aku kebingungan sendiri, lewatlah guru yang mantan wali kelas dari siswa yang tamat TK kemudian masuk ke SD itu.
"Bu, si A waktu itu sudah bayar uang sekolah kan?" tanyaku. Aku tak ingat nama siswa tersebut.
"Sudah, kan waktu itu langsung ke kepsek!" jawabnya nyaris refleks. Alangkah leganya aku.
"Nanti tolong bantu, ya! Kepsek bilang dia gak nerima duit," pintaku.
Singkat cerita, kudatangi kepsek SD bersama guru yang menjadi saksi waktu itu. Aku tidak sangsi soal kejujurannya, kepsek ini memang terkenal pelupa. Tapi ia punya rasa percaya diri yang tinggi. Mentalnya kuat dan selalu yakin pada diri sendiri.
Masih seperti sebelumnya, ia yakin tidak menerima uang dari siapa pun. Tak salah kukatakan "untung", karena guru ini juga menjadi saksi ketika bendahara yayasan mengeluh padanya, kenapa kepsek SD menerima uang, bukannya kasir yayasan?
Ternyata waktu itu setelah menerima uang dari wali murid, kepsek langsung bergegas pergi karena ada urusan, dan ia membutuhkan dana untuk urusan tersebut. Sambil lalu, ia berkata pada bendahara yang ia lewati saat keluar dari sekolah.
"Saya nerima duit dari si A, mau langsung dipakai belanja. Tolong dicatat, ya!" begitu lebih kurang pesannya menurut bendahara kemudian. Yang itu jelas mengacaukan alur laporan kami.
Baca juga: Amnesia Saat Ramadan
Itu pun kepsek masih minta bukti tanda tangannya dari bendahara, yang kemudian ikut jengkel. Sudah tidak berhak, main pakai tanpa lapor, sekarang tanya-tanya bukti.
"Waktu itu Ibu jalan menuju parkiran, terus mengibaskan duit berapa juta gitu di depan saya. Ibu bilang mau beli keperluan SD, saya disuruh catat. Saya lupa nyatat, tapi kejadiannya saya ingat," ujar bendahara yayasan dengan tetap bersuara lunak walaupun kesal.
Akhirnya kami bertiga memilih opsi mempertemukan kepsek dengan wali murid, karena ia terus menimbang-nimbang kesaksian dari tiga orang. Tapi besoknya, entah kena angin apa, kepsek mengiyakan bahwa ia memang menerima uang pembayaran. Entah baru ingat atau malu mengaku.
Jadi, siapakah yang seharusnya mencatat?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H