Mohon tunggu...
Syarifah Lestari
Syarifah Lestari Mohon Tunggu... Freelancer - www.iluvtari.com

iluvtari.com

Selanjutnya

Tutup

Diary Artikel Utama

Momen Gondok Ketika Musik 90s Favoritku Disebut Norak

9 Januari 2021   07:15 Diperbarui: 10 Januari 2021   03:28 1028
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Nathan Fertig on Unsplash

"Malu nian aku, masa sepanjang perjalanan tu dio nyanyi lagu Malaysia!" temanku mengeluhkan pacarnya pada teman yang lain.

Yang diajak ngobrol ketawa terpingkal-pingkal.

Aku bingung sendiri. Apanya yang salah? Bukannya sopir angkot memang biasa memutar lagu apa saja di angkotnya. Siapa pun bebas ikut bersenandung di dalam sana, terutama penumpang.

Kali lain, ketika malam pengukuhan paskibra, seorang kakak kelas menyuruhku bernyanyi. Seumur hidup aku paling benci dengan tugas menyanyi. Hanya di SMA lah aku ketemu guru kesenian yang berkelas.

Aku tak ingat nama gurunya, seorang nenek yang suaranya menggelegar. Beliau kerap menugaskan menggambar aneka benda tak biasa, alih-alih gunung dan awan. Juga mengajarkan bermain suling untuk lagu-lagu klasik.

Tapi di SMA itu pula, ada senior menyebalkan yang tiap kegiatan menitah nyanyi, nari, baca puisi, atau hal-hal yang jauh dari seorang aku. Adik kelas bisa apa?

Baca juga: Kalau Kubilang Aku Ketemu Nabi, Kamu Percaya?

Selain faktor suara yang fals, tak satu lagu pun yang aku hafal liriknya secara keseluruhan. Tapi dalam paskib, tidak ada perintah yang ditolak. Kalau diminta nyanyi, ya nyanyi!

Di lantai 2 SMA, dalam keadaan mata ditutup syal, aku berpikir. Lagu apa yang sekiranya bisa kunyanyikan lebih lama? Sebab umumnya kalau bersenandung, aku hanya bisa bagian reff-nya.

"Ayo, nyanyi!" bentak senior tak sabar.

"Siap, Kak!" teriakku untuk kedua kalinya. Lalu akhirnya memilih salah satu lagu yang lumayan kuingat.

Menurutku lagunya indah, gak menye-menye. Tentang mensyukuri keadaan. Tapi baru masuk bait kedua, kakak kelas menyela. "Lagu siapo?" tanyanya.

"Siap, Exists, Kak," jawabku.

" Exists? Lagu Malaysia yo?"

"Siap, iya, Kak!"

"Norak!" bentaknya lagi. Lalu terdengar langkah menjauh.

Antara lega dan gondok. Tapi di benakku tertanam, jangan lagi kau nyanyikan lagu Malaysia di sekolah ini. Selera warganya beda dengan SMP dan orang di rumahmu!

Sampai hari ini jika diperdengarkan lagu Indonesia 90-an, aku hanya mengenal sedikit liriknya. Tak tau sama sekali siapa penyanyinya. Bukan karena musik 90s milik Indonesia tak ada yang bagus. Aku jarang nonton Album Minggu maupun acara musik TVRI lain masa itu, karena tak punya TV.

Tapi lewat radio yang speakernya dibuat dari ban mobil, kakak-kakak sering menyetel radio yang isinya kebanyakan lagu Malaysia dan India. Abangku sering tukar pinjam kaset dengan teman-temannya, semua Malaysia.

Tetangga kiri kanan hobi dangdut, suaranya masuk ke rumah kami saban hari. Hanya seberang rumah yang kerap menyetel lagu barat yang sering kutiru dengan english setangkap kupingku. Leide won you sef me, may hot bilong tu yu ....

Di SMA, aku yang masih suka Bobo dan Donal Bebek harus insaf. Aku ini remaja, remaja itu suka musik. Waktu itu sudah memasuki tahun 2000, saat Primus jadi superhero. Band yang populer adalah Sheila on 7, Padi, dan beberapa band yang aku tak suka lagunya karena terlalu mewek.

Padahal lagu-lagu Malaysia juga kebanyakan berlirik romantis, kalau sekarang lebih pas disebut alay. Tapi ada unsur nostalgia yang membuatku tetap menyukainya. Meski begitu, rasa suka itu kutekan sekuat tenaga, demi harga diri.

Daripada disebut norak, biarlah aku tergila-gila Papa Roach yang sebenarnya gak bagus-bagus amat. Limp Bizkit yang lagunya penuh makian, atau Linkin Park yang dinyanyikan orang seantero jagat.

Kemudian bertemulah aku dengan guru English yang kerap menugaskan kami menulis lirik lagu yang mengalun lewat headset lab bahasa. Di situlah aku kemudian gandrung dengan lagu-lagu barat sambil memahami maknanya.

Dan akhirnya aku jatuh cinta pada Sistem of a Down, yang membuat orang malah terheran-heran. Lah, salah lagikah?

Baca juga: Cerpen Masa Sekolah

Aku mengoleksi kaset Red Hot Chili Pepper, Slipknot, Green Day, Eminem, dll, dari SMA hingga lewat usia 20, ketika M-Studio di kotaku sudah tak ada lagi. Semua baik-baik saja, sampai kemudian kawan-kawan ngajiku melongo. Kamu masih dengar musik? Yang begitu lagi.

Okelah, kalau memang harus kutinggalkan semua, entah lagu baru atau musik 90s. Aku bisa hidup sehat kok tanpa musik.

Tapi aku punya rindu yang besar pada masa kanak-kanak. Yang ada kalanya kenangan itu bisa melintas begitu kuat ketika lagu Iklim mengalun di telinga. Atau ketika Sheila Majid bersenandung, engkau laksana bulan, tinggi di atas khayangan ....

Ada aroma pagi masa SD yang menguar. Terkenang warung Mamak yang kadang ramai kadang hening, tanah kosong dengan pohon jengkol dan kedondong di samping rumah.

Tetangga yang punya video, tempat nobar anak-anak sekampung. Main bepean, main tepe'an, ... semua lagu norak itu bernilai di hidupku.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun