"Malu nian aku, masa sepanjang perjalanan tu dio nyanyi lagu Malaysia!" temanku mengeluhkan pacarnya pada teman yang lain.
Yang diajak ngobrol ketawa terpingkal-pingkal.
Aku bingung sendiri. Apanya yang salah? Bukannya sopir angkot memang biasa memutar lagu apa saja di angkotnya. Siapa pun bebas ikut bersenandung di dalam sana, terutama penumpang.
Kali lain, ketika malam pengukuhan paskibra, seorang kakak kelas menyuruhku bernyanyi. Seumur hidup aku paling benci dengan tugas menyanyi. Hanya di SMA lah aku ketemu guru kesenian yang berkelas.
Aku tak ingat nama gurunya, seorang nenek yang suaranya menggelegar. Beliau kerap menugaskan menggambar aneka benda tak biasa, alih-alih gunung dan awan. Juga mengajarkan bermain suling untuk lagu-lagu klasik.
Tapi di SMA itu pula, ada senior menyebalkan yang tiap kegiatan menitah nyanyi, nari, baca puisi, atau hal-hal yang jauh dari seorang aku. Adik kelas bisa apa?
Selain faktor suara yang fals, tak satu lagu pun yang aku hafal liriknya secara keseluruhan. Tapi dalam paskib, tidak ada perintah yang ditolak. Kalau diminta nyanyi, ya nyanyi!
Di lantai 2 SMA, dalam keadaan mata ditutup syal, aku berpikir. Lagu apa yang sekiranya bisa kunyanyikan lebih lama? Sebab umumnya kalau bersenandung, aku hanya bisa bagian reff-nya.
"Ayo, nyanyi!" bentak senior tak sabar.
"Siap, Kak!" teriakku untuk kedua kalinya. Lalu akhirnya memilih salah satu lagu yang lumayan kuingat.