Mohon tunggu...
Syarifah Lestari
Syarifah Lestari Mohon Tunggu... Freelancer - www.iluvtari.com

iluvtari.com

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Begajul

19 November 2020   19:33 Diperbarui: 19 November 2020   19:47 312
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kyndall Ramirez on Unsplash">

"Mau nikah muda?"

Mereka cekakakan di depan mataku.

"Mana yang dia pepet hafal Qur'an lagi. Santri!"

Tiga cewek itu ngakak lagi. Tawa mereka bersahutan, yang pasti sampai ke kamar terujung kos-kosan ini.

"Lu gak inget, tato lu di punggung segede apa?"

Ucapan salah satu dari mereka sebenarnya mengagetkanku. Tapi kutahan, agar Mia tak tersinggung. Ia masih sibuk membereskan barang-barang. Aku membantunya pindah dari tempat laknat ini.

"Hijrah, dia hijrah!" teriak ketiganya, saat aku dan Mia berjalan menuju pintu keluar.

Orang-orang, bekas teman kos Mia, memandangi kami dengan berbagai ekspresi. Tapi Mia sendiri lebih tenang, ia seolah sudah biasa dipandang remeh oleh orang lain.

"Udah liat kan, gimana kehidupanku?" Mia tersenyum santai, usai meneguk air putih dari botol kemasan.

Aku mengangguk tanpa suara. Entahlah, terlalu banyak yang bisa disimpulkan. Atau justru belum tersimpulkan sama sekali.

"Bilang sama dia, aku berubah bukan karena siapa-siapa. Dia gak perlu merasa harus membimbing aku. Aku terlalu kotor buat dia!" ujar Mia lagi.

Aku masih tak menjawab. Memang konyol, aku sendiri merasa begitu. Apa-apaan si Boby, minta aku menemui Mia sebagai comblang. Mengajak cewek ini nikah muda cuma gara-gara kenal di IG.

"Aku cuma nyampein amanah," kataku akhirnya.

"Kamu sendiri ilfil kan?" Mia tersenyum lagi, seperti bisa menebak pikiranku. "Sebelum kamu datang pun, aku sudah berencana keluar dari sana. Aku dari dulu juga sudah tau, lingkungan yang membuatku rusak. Tapi akunya yang memang enggan untuk keluar."

"Karena?"

"Yaaa, masih menikmati. Kamu dan jutaan remaja lain mungkin tipikal yang mudah dinasihati. Aku ... kadang aku merasa jijik pada yang menasihati." Mia tertawa sinis.

"Aku juga bukan anak baik, kok. Kalau Boby, emang dari kecil sudah lurus banget hidupnya," kujawab agar ia paham. Aku dan dia sama, kami cuma remaja biasa.

Boby sepupuku, adalah cucu kesayangan Nenek. Ia hafal Al-Qur'an sejak kecil, mengikuti jejak kakek kami. Tapi cucu lainnya, biasa saja. Seperti aku. Karena ibuku tinggal bersama Nenek, otomatis aku dan Boby cukup akrab.

Dia sering bercerita tentang cita-cita yang ia rahasiakan sejak kecil. Agak nyeleneh memang, masa anak kecil sudah berpikir sejauh itu!

Boby ingin menikah dengan cewek yang bukan cewek baik-baik. Tujuannya, ia akan membuat cewek itu jadi istri yang shalihah. Gila kan! Dan inilah dia, Mia. Yang Boby kenal lewat Instagram.

"Aku boleh merokok?" tanya Mia.

"Ini ruang AC!" larangku.

"Ya AC-nya dimatikan, Non!" titah Mia. Dan bodohnya, kuturuti. Kumatikan AC kamar, lalu membuka jendela.

"Aku pulang dulu ya, misiku selesai," kucoba sedikit bercanda. Kupikir yang Mia tau memang hanya ini, memastikan ia sudah pindah ke tempat kos baru. Di lingkungan yang lebih baik, dan tempat yang lebih bersih. Lebih mahal juga, tentunya. Boby yang bayar.

"Masa sih, Boby gak minta kamu cari tau lebih dalam tentang aku?"

Kucoba putar otak, jawaban apa yang harus kuberi untuk mengelak. Nyatanya memang itu misi lainnya.

"Oke, rokoknya kumatikan. Kamu alergi asap, ya?" Mia melempar keluar rokok yang masih panjang. Begitu saja. Membuatku melongo dengan tingkahnya. "Ke selokan, kok! Gak bakal kebakaran!

Kamu mau aku buka baju, untuk buktikan ucapan temanku tadi?"

Aku refleks menggeleng.

"Tato mah gak aneh, aku kan anak bejat! Udah gak perawan, pernah mabok. Baru inget salat belakangan ini, itu pun bolong-bolong."

Jujur aku tak terkejut. Sejak bulan lalu, secara bertahap aku mengetahuinya. Tapi kupilih tetap mendengarkan pengakuan Mia. Aku urung keluar.

"Kamu kira aku anak broken home? Nggak. Keluargaku utuh, tapi aku berbeda dengan mereka. Aku gak bisa akting."

Lalu hening. Kutunggu Mia berkata lagi, tapi tak kunjung terjadi. Ia sibuk mengatur napas, menahan genangan di matanya. Aku hanya bisa mematung.

"Aku rindu keluargaku, tapi aku juga benci mereka." Suara Mia agak bergetar.

Lebih lama lagi Mia terdiam. Ketika kutoleh, ia sudah lelap. Kurang ajar! Makiku dalam hati, lalu keluar tanpa pamit. Misi berikutnya adalah mencari tau, di mana keluarga Mia.

Kukira aku akan melewati perkampungan kumuh, ternyata tidak. Bukan pula rumah kecil di pinggiran kota. Lewat alamat yang didapatkan Boby dari orang bayarannya, tibalah aku di sebuah rumah yang terbilang mapan, di kawasan yang cukup strategis.

Seorang anak dengan Iqro' di tangan menyambutku. Kutanyakan padanya nama seorang laki-laki yang diyakini valid sebagai ayah Mia.

"Oh, Ustaz ada di dalam!" balas anak itu, sembari berlari bersama teman-temannya ke paviliun.

Cerpen lainnya:

Pada Bangku dan Dedaunan

Mencari Tuhan

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun