Lalu hening. Kutunggu Mia berkata lagi, tapi tak kunjung terjadi. Ia sibuk mengatur napas, menahan genangan di matanya. Aku hanya bisa mematung.
"Aku rindu keluargaku, tapi aku juga benci mereka." Suara Mia agak bergetar.
Lebih lama lagi Mia terdiam. Ketika kutoleh, ia sudah lelap. Kurang ajar! Makiku dalam hati, lalu keluar tanpa pamit. Misi berikutnya adalah mencari tau, di mana keluarga Mia.
Kukira aku akan melewati perkampungan kumuh, ternyata tidak. Bukan pula rumah kecil di pinggiran kota. Lewat alamat yang didapatkan Boby dari orang bayarannya, tibalah aku di sebuah rumah yang terbilang mapan, di kawasan yang cukup strategis.
Seorang anak dengan Iqro' di tangan menyambutku. Kutanyakan padanya nama seorang laki-laki yang diyakini valid sebagai ayah Mia.
"Oh, Ustaz ada di dalam!" balas anak itu, sembari berlari bersama teman-temannya ke paviliun.
Cerpen lainnya:
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H