Aku maju sedikit untuk melihat apa masker si mamang siomai dinaikkan? Karena rokoknya diletakkan di jari-jari gerobak.
Tidak muluk-muluk. Walaupun masker scuba, kuharap sehelai kain itu minimal menutup mulut. Karena aku tau para mamang sering kesulitan menutup hidungnya dengan masker. Entah melorot karena bahan, atau karena bentuk hidung.
"Yuk, pake cabe rawit dak?" tau-tau si mamang teriak. Bukan droplet lagi, bahkan setetes besar liurnya melompat ke piring. Mataku minus, Mang. Bukan buta!
"Wai, Mang! Muncrat ludahnyo," kataku.
Si mamang terdiam. Tapi seolah tadi itu hanya geluduk di ujung langit. Ia melanjutkan memotongi siomai dan batagor di piring.
Aku berpikir keras. Kalau kubatalkan, kasihan. Diteruskan? Sudahlah, kuingat-ingat piring mana yang sudah ternoda itu.
Akhirnya racikan selesai. Dua porsi siomai siap disajikan. Tapi seleraku hilang, meski kepalaku masih mengingat-ingat, piring sebelah mana yang tadi tercemar.
Ketika piring berpindah tangan dan siomai kubayar, si mamang berterima kasih dengan ekspresi girang. Dasar pikun, sampai di dalam, aku lupa mana yang berisi liur mamang, mana yang masih suci.
Tambah nahas karena dua piring itu kembar identik! Akhirnya ya sudah, kubuang semua. Selapar-laparnya aku, tak sanggup kutelan potongan siomai dan batagor dengan bumbu kacang, kecap, dan saus, berbonus liur sebesar ujung kelingking bayi.
Baca juga:Â Alternatif Mi Instan yang Sehat dan Ramah Ketersediaan PanganÂ
Rasanya kayak orang kaya, buang duit di masa resesi. Ah, cuma ceban ini! Jangan ngeremehin duit. Sepuluh ribu kalau dikali sejuta  sudah sepuluh miliar!