Karena terlambat mendaftar ke SMP negeri, akhirnya aku ikut kakakku sekolah di daerah. Setelah satu tahun, aku kembali ke kota lagi, jadi siswa baru di sebuah SMP swasta.
Selama di sekolah ini, sesantai apa pun aku belajar, nilaiku hampir selalu lebih baik dari yang lain. Aku tidak merasa hebat, tapi merasa kaya. Sebab teman-teman yang lugu itu, jika mendapat contekan bukannya berbagi malah saling menyembunyikan.
Jadi jika satu orang membayar contekanku, maka ia simpan hasil contekan itu dari teman yang lain. Maka teman yang lain itu ikut pula membayarku untuk mendapatkan contekan yang sama. Dulu aku berpikir itu bisnis, sekarang baru terasa jahatnya.
Seharusnya kuajarkan mereka patungan untuk membeli jawaban, atau lebih baik kuajari saja daripada memberi contekan. Tapi yang anehnya lagi, jika aku memberi contekan secara gratis, justru banyak teman yang marah. Entah apa maunya.
Mereka bukan anak-anak bodoh, tapi stigma lingkungan membuat mereka merasa tidak bisa yang akhirnya jadi benar-benar tidak bisa.
Dua tahun di sekolah itu, hanya satu sainganku. Seorang siswa pindahan dari Kota Padang. Aku ranking 1 di 2B, dia di 2A. Aku juara umum di sekolah, dia nomor 2, sisanya punya jarak nilai yang jauh dari kami berdua.
Di SMA, Semua Berubah!
Terbiasa terus menjadi juara kelas membuatku stres ketika masuk SMA. Bagaimana tidak, biasanya ranking 1 tanpa belajar. Di SMA, belajar setiap hari tapi ranking 29 dari 30-an siswa!
Guru SMP yang mendaftarkanku ke SMA favorit itu. Jelas demi nama baik sekolah, karena alumninya berhasil lolos masuk SMA terbaik se-provinsi (saat itu).
Tapi ranking yang jauh melanting membuatku jadi merasa rendah diri. Sempat berpikir bahwa aku bodoh, dan kebetulan teman-teman di SMP lebih bodoh dariku, makanya dulu selalu juara umum.
Syukurnya kakak-kakakku tidak berpikir demikian. Mereka lebih fokus pada nilai, bukan ranking. Malah kakak kedua pernah berkomentar lebih kurang, "Mungkin nilai mereka ni mepet-mepet. Berapo lagi rata-rata yang ranking satu kalo ranking dua sembilan be banyak lapannyo," waktu ia melihat raporku.
Baca juga: Apakah Iri Hati Termasuk Penyakit Mental?
Seharusnya aku termotivasi, tapi tidak segampang itu. Terutama di pelajaran matematika, yang dulu sempat menjadi favorit. Sudah begitu keras aku mencoba, tetap saja nilainya mengerikan.
Bukan 6 atau 5, malah pernah dapat 2! Dulu nilai tertinggi adalah 10, bukan 100 seperti sekarang. Tapi kemudian kalimat tak sengaja dari temanku membuka rahasianya.
"Bapak ni, lain latihan yang dio kasih, lain pula yang keluar di ulangan," begitu kata temanku. Benar sekali, ibarat latihan dengan MTK Dasar tapi ulangan dengan MTK MIPA!
Ternyata rahasia untuk mendapat nilai tinggi adalah ikut les. Di sana, guru memberikan contoh soal yang sangat mirip dengan yang akan ia beri ketika ulangan. Yang diubah hanya Deni jadi Andi, 5 jadi 50, dst. Semua soal dijamin akan berbeda jauh dengan yang ia beri ketika latihan di kelas.
Gara-gara satu mata pelajaran terkutuk itu, aku jadi gugup di English (karena merasa diri bodoh), gelagapan ketika ditanya guru menggunakan bahasa Inggris. Aku tak yakin dengan jawaban fisika, aku terkantuk-kantuk di PPKN (bukan aku saja sih kalau yang ini). Pokoknya stres!
Akibat urusan sekolah, aku sakit-sakitan. Sedikit-sedikit demam, sering tak enak badan. Makin kubawa begadang untuk belajar, makin tubuh tidak fit.
Baca juga:Â 8 Gejala Depresi Terselubung
Makin tambah parah ketika melihat teman-teman yang begitu santai ketika belajar, tapi nilai mereka bagus-bagus. Lalu aku ingat pengalaman sendiri, bukannya di SMP aku juga begitu? Bukan karena belajar, tapi karena yakin.
Bedanya, aku yakin bisa karena mengerti. Sedangkan teman-teman ini, yakin bisa karena mendapat contekan tak langsung dari guru ketika les. Kabarnya tak hanya MTK yang begitu, pelajaran lain juga. Tapi yang nampak jelas di mataku ya MTK itu.
Pelan-pelan aku menyadari, pertama masuk SMA, kelas kami hanya berisi sekira 32 siswa. Setelah lewat MOS, apalagi memasuki caturwulan kedua, siswa membludak jadi sekira 45 orang.
Aku masuk lewat jalur resmi, dari prestasi. Belasan orang ini lewat jalur khusus yang aku yakin mereka memilihnya karena nilai yang tak memenuhi syarat. Tapi kenapa sekarang nilai mereka tinggi? Tidak mungkin karena ilmu kanuragan.
Motivator Terbaik Adalah Diri Kita Sendiri
Ketika aku sakit-sakitan, Mamak membawaku ke orang pintar. Menurut dukun ngawur itu, aku disantet teman sekelas yang iri padaku. Iri dari hongkong! Siapa yang iri dengan siswa tidak cantik, tidak kaya, tidak pintar.
Alih-alih tercerahkan, aku benci dukun itu setengah mati. Aku sadar, aku sakit-sakitan karena stres!
Akhirnya aku mengobati diri sendiri. Dengan ikut les? Aku telanjur sakit hati pada guru curang itu, jadi aku tak sudi.
Apa yang kulakukan? Tidak muluk-muluk, aku hanya memilih tak peduli. Sekolah itu jajan, ngegosip, nyanyi Westlife ramai-ramai, tidur di jam biologi, main basket pas sejarah. Bodo amat.
Hasilnya, nilaiku makin parah hancurnya. Tapi mentalku perlahan membaik. Seiring berjalannya waktu, akhirnya terbukti aku memang tidak bodoh. Pelan-pelan nilaiku naik, guru-guru tau di mana kelemahan dan kelebihanku.
Dan nyatanya tidak ada yang spesial dengan nilai. Aku tetaplah manusia Indonesia yang mengikuti alur hidup standar; lahir-sekolah-kerja-nikah-mati.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H