Mohon tunggu...
Syarifah Lestari
Syarifah Lestari Mohon Tunggu... Freelancer - www.iluvtari.com

iluvtari.com

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Bedakan Fakta dan Imajinasi, Anak Bisa Jadi Sumber Fitnah

22 Agustus 2020   15:19 Diperbarui: 22 Agustus 2020   15:09 213
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Keponakanku berjalan terburu-buru dari kamar mandi, mukanya pucat.

"Di belakang ado belang-belang!" katanya dengan napas memburu.

Belang-belang? Semua yang ada di ruang TV bingung.

"Dio tu kayak nyamuk, besak. Hidungnyo dak ado," katanya lagi sembari mempraktikkan orang bongkok dan menunjuk hidungnya sendiri.

Oh, tahulah kami. Sejak bayi memang dia langganan melihat yang aneh-aneh. Penamaan belang-belang sendiri adalah karyanya. Sebelum dan setelahnya, ia selalu punya nama yang berbeda-beda, semau dia saja.

Seiring bertambahnya usia, makin berkurang tingkah anehnya. Setelah masuk usia SD, tak pernah lagi ia bertingkah demikian. Yang kami lakukan adalah tidak membahas apa yang ia lihat.

Pengalaman Masa Kecil

Tak tahu berapa usiaku waktu itu. Kami berada di Jambi Kota Seberang, wilayah Kota Jambi di utara Sungai Batanghari yang kehidupan masyarakatnya masih tradisional.

Aku dan Mamak menginap di rumah kerabat, sepasang suami istri yang hanya tinggal berdua. Suatu malam, kulihat ada benda merah kecil mengawang di depan pintu Nek Cik, begitu aku memanggilnya.

Benda itu sepertinya bergerak dari kamar ke luar. Hari gelap, dan Nek Cik sendirian di dalam. Aku dan Mamak ada di kamar yang lain.

Sambil lalu kubilang ke Mamak, "Ada merah-merah terbang di depan kamar Nek Cik." Kalau saja ucapan itu keluar dari mulut anakku sekarang, mungkin sudah kumarahi. Gak penting.

Sebab gara-gara ucapanku, Mamak berpikir yang bukan-bukan. Beliau segera memanggil Nek Cik di kamar, dan orang tua yang hampir seusia mbahku itu keluar bersama rokok di mulutnya.

Tahulah aku, bahwa merah-merah yang melayang itu adalah bara rokok Nek Cik sendiri. Tapi Mamak yang menerima ceritaku telanjur berkisah panjang.

Aku hanya bilang ada merah-merah di depan kamar, cerita yang sampai adalah "sesuatu berwarna merah terbang dari luar masuk ke kamar Nek Cik."

Alhasil malam itu sibuk mereka dengan entah hal apa. Obrolan ini itu, bakar ini itu. Aku tak ingat lagi, sepertinya setelah itu aku tertidur.

Imajinasi Lebay Hadir Karena Banyak Peminatnya

Di tempat tinggal orangtuaku dulu, hanya PNS yang dianggap bisa kaya. Jadi kalau kamu keluar rumah tanpa seragam khas pegawai dan pulang bawa uang banyak, berarti ada yang tidak benar di rumahmu.

Ada banyak keluarga yang jadi korban desas-desus murahan ala kaum julid. Termasuk Mamakku sendiri yang pernah difitnah memelihara tuyul. Pernah kuceritakan di artikel ini.

"Tak masuk akal, suami sopir istri IRT biasa, masak bisa bikin rumah sebagus itu."

"Cuma loper koran tapi rumahnya kayak dealer, pasti pelihara tuyul!"

Obrolan beraroma tuduhan semacam itu biasa seliweran di warung Mamak, waktu masih berdiri dulu.

Lalu lewatlah seorang anak kecil dengan sepeda yang ada boncengannya. Usia anak itu jauh lebih tua dari usia keponakanku waktu melihat belang-belang (yang entah apa). Mungkin seusiaku waktu melihat "merah-merah melayang" atau lebih tua sedikit.

Bocah itu bukan anak orang kaya raya. Tapi menurut warga, tak mungkin bapaknya yang bukan PNS bisa punya mobil dan menguliahkan kakak-kakaknya. Satu-satunya alasan yang masuk di akal mereka adalah tuyul.

Dan itu bukan hanya salah masyarakat, tapi salah si anak (tepatnya orang dewasa di dekatnya) juga. Sebab anak tersebut pernah bercerita pada temannya, bahwa ia punya teman kecil di rumah. Kalau ia bersepeda, anak itu naik di boncengannya.

Padahal kalau mengikuti selera tontonan kelompok warga ini, harusnya anak itu keberatan waktu mengayuh. Bukannya kalau di film atau sinetron horor itu, sepeda motor yang ditumpangi makhluk astral jadi terasa berat?

Aku sih termasuk yang percaya bahwa makhluk gaib itu ada. Tapi ya biarlah, urusan yang kasat mata aja banyak.

Anak tersebut, menurut analisisku, kurang lugu untuk disebut bercerita apa adanya. Selain faktor usia, juga cerita yang tidak konsisten dan cenderung dilebih-lebihkan.

Sebagaimana yang terjadi pada keponakan dan aku sendiri di masa kecil. Ada rasa senang jika kisah kita disimak orang lain. Tapi karena tak ada tanggapan berarti dari orang dewasa di sekitar, keponakanku tak punya kesempatan untuk berkisah lebih panjang mengenai pengalamannya. Sehigga pengalaman itu tidak terus menerus bersemayam di kepalanya.

Sedangkan pada pengalamanku pribadi, ada rasa bersalah ketika mengabarkan tentang bara rokok yang akhirnya membuat ibuku panik. Tapi untuk menjelaskan, sebagai anak aku tak punya keberanian dan kemampuan.

Anak-anak pastinya tidak berniat buruk dengan mengada-ada cerita. Mereka bahkan tak mengerti tentang kebohongannya.

Tapi peluang yang dibuka oleh orang dewasa berupa feedback antusiasme yang besar terhadap cerita mereka, membuat imajinasi anak-anak keluar dari fakta dan terus terasah seiring dengan banyaknya peminat.

Untuk beberapa lama sang bocah bersepeda jadi sosok populer. Kehadirannya di lapangan bermain ditunggu-tunggu anak lain dan orang dewasa di kampung itu.

Sampai kemudian, mungkin berita tersebut hinggap pula di rumahnya sendiri. Dan ia tak nampak muncul lagi.

Baca juga: Efek Membohongi Anak

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun