Padahal kalau mengikuti selera tontonan kelompok warga ini, harusnya anak itu keberatan waktu mengayuh. Bukannya kalau di film atau sinetron horor itu, sepeda motor yang ditumpangi makhluk astral jadi terasa berat?
Aku sih termasuk yang percaya bahwa makhluk gaib itu ada. Tapi ya biarlah, urusan yang kasat mata aja banyak.
Anak tersebut, menurut analisisku, kurang lugu untuk disebut bercerita apa adanya. Selain faktor usia, juga cerita yang tidak konsisten dan cenderung dilebih-lebihkan.
Sebagaimana yang terjadi pada keponakan dan aku sendiri di masa kecil. Ada rasa senang jika kisah kita disimak orang lain. Tapi karena tak ada tanggapan berarti dari orang dewasa di sekitar, keponakanku tak punya kesempatan untuk berkisah lebih panjang mengenai pengalamannya. Sehigga pengalaman itu tidak terus menerus bersemayam di kepalanya.
Sedangkan pada pengalamanku pribadi, ada rasa bersalah ketika mengabarkan tentang bara rokok yang akhirnya membuat ibuku panik. Tapi untuk menjelaskan, sebagai anak aku tak punya keberanian dan kemampuan.
Anak-anak pastinya tidak berniat buruk dengan mengada-ada cerita. Mereka bahkan tak mengerti tentang kebohongannya.
Tapi peluang yang dibuka oleh orang dewasa berupa feedback antusiasme yang besar terhadap cerita mereka, membuat imajinasi anak-anak keluar dari fakta dan terus terasah seiring dengan banyaknya peminat.
Untuk beberapa lama sang bocah bersepeda jadi sosok populer. Kehadirannya di lapangan bermain ditunggu-tunggu anak lain dan orang dewasa di kampung itu.
Sampai kemudian, mungkin berita tersebut hinggap pula di rumahnya sendiri. Dan ia tak nampak muncul lagi.
Baca juga: Efek Membohongi Anak
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H