Mohon tunggu...
Syarifah Lestari
Syarifah Lestari Mohon Tunggu... Freelancer - www.iluvtari.com

iluvtari.com

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Dari Utang HP Sampai Tawaran Laba 3 Juta per Bulan

1 Agustus 2020   09:50 Diperbarui: 6 Agustus 2020   21:06 240
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi dari kompas.com

Dulu sekali, ada yang bilang padaku, "Kalau tak utang, mana bisa punya barang!"

Sialnya, kalimat itu tertanam dengan baik di kepalaku. Sehingga untuk membeli apa pun, bayar secara kredit selalu jadi pilihan utama.

Entah bego atau kurang baca, sama aja sih, jika menginginkan sebuah barang yang harganya lumayan, yang kulihat adalah angka down payment-nya. Kemudian menghitung kemampuan bayar tiap bulan.

Seiring berjalannya waktu, bertambah teman, beberapa orang sambil lalu mengajarkan bagaimana cara yang tepat untuk membeli barang yang diinginkan. Upayakan cash untuk barang dengan risiko penyusutan harga yang tinggi, tak apa kredit untuk benda dengan harga yang terus naik, dll.

Sedikit-sedikit belajar prinsip ekonomi syariah, apa itu riba, dst. Di antara sekian banyak teori yang berjubel, pelajaran hidup yang paling penting dari beli membeli adalah; beli yang kamu butuhkan, bukan yang kamu inginkan.

Setelah terbiasa dengan prinsip itu, aku akhirnya terkaget-kaget dengan kenyataan di lapangan. Ada orang yang lebih parah dari aku yang dulu. Hanya untuk membeli brand HP, mereka rela ajukan kredit yang jika ditotal, paling sedikit harga akhirnya senilai dua kali harga tunai.

Membeli merek, bukan fungsi. Merasa lebih pede ke mana-mana menenteng HP merek terkenal, meski semua fitur tidak digunakan. Bahkan sering bingung, karena HP tiba-tiba "demam". Panas sendiri padahal tidak dipakai.

Orang-orang seperti itulah, tebakku, yang kerap termakan investasi bodong. Tidak detail dalam berhitung, tidak banyak menimbang, tapi sebenarnya punya lumbung uang yang banyak.

Kupikir-pikir, membuka artikel dengan tujuh paragraf ke sana kemari, aku sudah seperti orang tua yang tak jelas mau cerita apa.

Begini, dalam satu bulan, ada satu perusahaan pialang (salah satu pengakuannya begitu) yang meneleponku sampai 10 kali. Sekarang lebih sedikit. Tapi jika ditotal dari sejak pertama menelepon ke nomorku hingga hari ini, tak kurang 50 kali perwakilan mereka melakukannya.

Kadang mengaku rekanan BCA, Mandiri, atau bank mana saja yang saat itu terpikir di kepalanya. Kadang langsung menyebut nama perusahaan dengan dua kata terakhir "pialang saham". Sisanya aku tak ingat.

Sempat terpikir dataku disalahgunakan provider, atau dihambur-hambur oleh Google, atau siapa saja yang bisa jadi kambing hitam. Tapi dipikir-pikir lagi, aku juga kerap membagikan nomorku di acara luring maupun kolom formulir daring. Tak terhitung jumlahnya sejak jadi pemilik nomor tersebut.

Di awal, ketika baru dua tiga orang yang menghubungi, salah satu berhasil membuatku mau menerima kedatangannya di kantor.

Seorang dengan setelan parlente kemudian jadi tamuku. Sampai hari ini aku tidak tahu apakah dia penipu, atau dia korban dari perusahaan yang menipu, atau bahkan ia maupun perusahaannya sama-sama bukan penipu.

Hanya caranya yang unik sekaligus menjengkelkan. Atau aku yang tak terbiasa ditodong dengan angka sedemikian besar? Kasihan.

Si necis itu menawariku investasi dengan keuntungan minimal 3 juta per bulan. Tak pernah ada ruginya. Baru tahap awal, dia sudah menjatuhkan kharismanya di mataku. Hidup saja ada masanya senang ada masa blangsak, dia bilang investasi tak pernah rugi.

Tiba-tiba dengan kemeja rapi dan dasinya, si mas lebih mirip salesmen yang jual panci sambil menawarkan pekerjaan, daripada seorang pialang saham, atau sekadar fundraiser.

"Berapa minimal investnya?" tanyaku sekadar basa-basi.

"Seratus juta, Mbak!" katanya mantap.

Refleks aku tertawa. Bukan tawa basi-basi. Tapi Menertawakannya, sekaligus membayangkan kartu ATM-ku yang jika digesek di mesin mana pun, sampai muntah tak akan keluar uang walau hanya satu juta.

Waktu itu aku punya dua rekening bank. Yang satu dipakai untuk menerima payroll dari kantor, satu lagi untuk membayar asuransi pendidikan anak.

"Saya gak punya duit segitu, Mas," tutupku, capek ngobrol lama-lama.

"Mbak punya sertifikat tanah atau kendaraan? Biar saya bantu cairkan ke bank."

Aku senyum-senyum saja. Apa guna aku sekolah, kalau mencairkan sertifikat atau BPKB saja tak bisa.

"Suami pasti gak kasih kasih izin."

"Mbak bisa coba pinjam sertifikat orangtua atau mertua!" desaknya.

Perutku langsung terasa tak nyaman. "Saya ke belakang dulu ya, Mas." Aku pamit meninggalkan ruangan.

Sambil duduk santai di dapur kantor, kupikirkan kata-kata terbaik untuk meminta mas-mas necis meninggalkan ruanganku. Penginnya naik darah, tapi hari itu mood-ku sedang bagus.

Ada rencana menyodorkan teman lain yang sepertinya jauh lebih mapan, siapa tahu tertarik, lalu mereka bisa pindah meja. Tapi kalau dia penipu?

Masih aku berpikir-pikir, tak sengaja kulihat kursi di depan mejaku sudah kosong. Dih, dia ngambek!

Tapi baik mas necis itu maupun pihak berwenang dari perusahaannya tidak pernah memasukkan nomorku ke daftar hitam mereka. Nyatanya sampai sekarang aku masih sering dihubungi nomor tak dikenal yang ketika panggilannya dijawab akan memulai dengan, "Bu, kami dari mitra BCA ..." atau "Saya X dari perusahaan saham bla bla ...."

"O, yang di Sipin itu?" kataku. Dan biasanya mereka langsung menutup telepon. Alangkah sopannya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun