Kadang mengaku rekanan BCA, Mandiri, atau bank mana saja yang saat itu terpikir di kepalanya. Kadang langsung menyebut nama perusahaan dengan dua kata terakhir "pialang saham". Sisanya aku tak ingat.
Sempat terpikir dataku disalahgunakan provider, atau dihambur-hambur oleh Google, atau siapa saja yang bisa jadi kambing hitam. Tapi dipikir-pikir lagi, aku juga kerap membagikan nomorku di acara luring maupun kolom formulir daring. Tak terhitung jumlahnya sejak jadi pemilik nomor tersebut.
Di awal, ketika baru dua tiga orang yang menghubungi, salah satu berhasil membuatku mau menerima kedatangannya di kantor.
Seorang dengan setelan parlente kemudian jadi tamuku. Sampai hari ini aku tidak tahu apakah dia penipu, atau dia korban dari perusahaan yang menipu, atau bahkan ia maupun perusahaannya sama-sama bukan penipu.
Hanya caranya yang unik sekaligus menjengkelkan. Atau aku yang tak terbiasa ditodong dengan angka sedemikian besar? Kasihan.
Si necis itu menawariku investasi dengan keuntungan minimal 3 juta per bulan. Tak pernah ada ruginya. Baru tahap awal, dia sudah menjatuhkan kharismanya di mataku. Hidup saja ada masanya senang ada masa blangsak, dia bilang investasi tak pernah rugi.
Tiba-tiba dengan kemeja rapi dan dasinya, si mas lebih mirip salesmen yang jual panci sambil menawarkan pekerjaan, daripada seorang pialang saham, atau sekadar fundraiser.
"Berapa minimal investnya?" tanyaku sekadar basa-basi.
"Seratus juta, Mbak!" katanya mantap.
Refleks aku tertawa. Bukan tawa basi-basi. Tapi Menertawakannya, sekaligus membayangkan kartu ATM-ku yang jika digesek di mesin mana pun, sampai muntah tak akan keluar uang walau hanya satu juta.
Waktu itu aku punya dua rekening bank. Yang satu dipakai untuk menerima payroll dari kantor, satu lagi untuk membayar asuransi pendidikan anak.