"Saya gak punya duit segitu, Mas," tutupku, capek ngobrol lama-lama.
"Mbak punya sertifikat tanah atau kendaraan? Biar saya bantu cairkan ke bank."
Aku senyum-senyum saja. Apa guna aku sekolah, kalau mencairkan sertifikat atau BPKB saja tak bisa.
"Suami pasti gak kasih kasih izin."
"Mbak bisa coba pinjam sertifikat orangtua atau mertua!" desaknya.
Perutku langsung terasa tak nyaman. "Saya ke belakang dulu ya, Mas." Aku pamit meninggalkan ruangan.
Sambil duduk santai di dapur kantor, kupikirkan kata-kata terbaik untuk meminta mas-mas necis meninggalkan ruanganku. Penginnya naik darah, tapi hari itu mood-ku sedang bagus.
Ada rencana menyodorkan teman lain yang sepertinya jauh lebih mapan, siapa tahu tertarik, lalu mereka bisa pindah meja. Tapi kalau dia penipu?
Masih aku berpikir-pikir, tak sengaja kulihat kursi di depan mejaku sudah kosong. Dih, dia ngambek!
Tapi baik mas necis itu maupun pihak berwenang dari perusahaannya tidak pernah memasukkan nomorku ke daftar hitam mereka. Nyatanya sampai sekarang aku masih sering dihubungi nomor tak dikenal yang ketika panggilannya dijawab akan memulai dengan, "Bu, kami dari mitra BCA ..." atau "Saya X dari perusahaan saham bla bla ...."
"O, yang di Sipin itu?" kataku. Dan biasanya mereka langsung menutup telepon. Alangkah sopannya.