Sebagai dua anak laki-laki, kami adalah pelindung Ibu. Jika sedang sedih, Ibu biasanya memeluk kami di kiri dan kanannya. Matanya berkaca-kaca menahan sesuatu yang mendesak keluar.
Ibu menciumi wajah kami sambil berkata, "Ibu ingin menghilang. Jaga diri kalian baik-baik!"
Biasanya aku dan Adik segera memeluk Ibu kuat-kuat. Kami begitu takut kehilangannya. Meski dengan keberadaannya pun, rumah itu selalu hening.
Kecuali jika Ayah ada di rumah. Tidak, Ayah tidak gampang memukuli istrinya. Bahkan aku tak ingat Ayah pernah memukul Ibu. Ayah juga tidak poligami. Jika ada yang bertanya, "Apa ayah kalian jahat?" kami tidak pernah mengiyakan.
Ayah hanya tak sudah-sudah menitah. Jika kami lambat merespons, Ayah akan membanting apa saja yang ada di dekatnya sambil berteriak, "Anjing!" seolah memanggil dirinya sendiri.
Aku dan Adik sepakat tidak menangis. Apa yang mesti ditangisi?
Apalagi bila membandingkan dengan Ibu. Jelas tak masuk akal jika kami harus menangis, sementara ia yang perempuan bisa tetap diam. Menutup mulutnya rapat-rapat, mengerjakan perintah dalam diam, nyaris tanpa ekspresi.
Hal aneh akan terjadi ketika Ibu berada di luar. Tiba-tiba ia jadi periang.
Adik sangat suka jika Ayah menitah Ibu keluar rumah bersamanya. Mereka menegur tetangga, berbicara pada siapa-siapa yang dikenalkan Ayah pada Ibu.
Aku yang lebih dulu menua tahu, jika Ayah sudah menggandeng Ibu ke dalam rumah, Ibu akan kembali kepada aslinya. Seiring dengan langkahnya memasuki rumah kami yang hening.
Suatu malam, Ibu berpesan untuk kesekian ratus kalinya. "Jaga diri kalian baik-baik, Ibu ingin menghilang." Kemudian untuk pertama kalinya dilanjutkan, "Tertawalah jika ingin tertawa, menangislah jika harus menangis. Kalian tetap laki-laki!"