Waktu kecil, aku percaya ibuku adalah seekor tikus. Meski setelah remaja nalarku menolaknya, tapi sampai dewasa, aku kadung terbiasa dengan keyakinan itu.
Ibuku yang pendiam itu tak seperti kebanyakan perempuan menurut kabar orang-orang. Ibu tidak cerewet, tidak cengeng, juga tidak suka mengutuk. Jika sedang sedih, ia memilih menyendiri di salah satu ruang rumah kami.
Dengan tabiatnya, ibu mencetak dua anak yang mirip dengannya. Aku dan adikku.
Kata adikku, "Jika Ibu jadi tikus, berarti Ayah adalah kucing."
Aku tidak setuju. Bahkan Ayah lebih anjing daripada anjing.
"Apa anjing memakan tikus?" tanya adikku di masa kecil kami dulu.
"Anjing memakan apa pun," jelasku. Anjing tetangga kami biasa menggondoli apa saja. Kadang ia membawa diapers bekas pakai dan mengunyahnya di halaman kami, lalu meninggalkannya begitu saja di sana.
"Jadi bukan karena memakan tikus, tapi karena tingkahnya itu!" kataku menekankan pada Adik.
 "Anjing suka menggonggong juga kan," tambahnya.
Kuusap rambut adikku, mengagumi kecerdasannya yang terus bertambah.
Sebagai dua anak laki-laki, kami adalah pelindung Ibu. Jika sedang sedih, Ibu biasanya memeluk kami di kiri dan kanannya. Matanya berkaca-kaca menahan sesuatu yang mendesak keluar.
Ibu menciumi wajah kami sambil berkata, "Ibu ingin menghilang. Jaga diri kalian baik-baik!"
Biasanya aku dan Adik segera memeluk Ibu kuat-kuat. Kami begitu takut kehilangannya. Meski dengan keberadaannya pun, rumah itu selalu hening.
Kecuali jika Ayah ada di rumah. Tidak, Ayah tidak gampang memukuli istrinya. Bahkan aku tak ingat Ayah pernah memukul Ibu. Ayah juga tidak poligami. Jika ada yang bertanya, "Apa ayah kalian jahat?" kami tidak pernah mengiyakan.
Ayah hanya tak sudah-sudah menitah. Jika kami lambat merespons, Ayah akan membanting apa saja yang ada di dekatnya sambil berteriak, "Anjing!" seolah memanggil dirinya sendiri.
Aku dan Adik sepakat tidak menangis. Apa yang mesti ditangisi?
Apalagi bila membandingkan dengan Ibu. Jelas tak masuk akal jika kami harus menangis, sementara ia yang perempuan bisa tetap diam. Menutup mulutnya rapat-rapat, mengerjakan perintah dalam diam, nyaris tanpa ekspresi.
Hal aneh akan terjadi ketika Ibu berada di luar. Tiba-tiba ia jadi periang.
Adik sangat suka jika Ayah menitah Ibu keluar rumah bersamanya. Mereka menegur tetangga, berbicara pada siapa-siapa yang dikenalkan Ayah pada Ibu.
Aku yang lebih dulu menua tahu, jika Ayah sudah menggandeng Ibu ke dalam rumah, Ibu akan kembali kepada aslinya. Seiring dengan langkahnya memasuki rumah kami yang hening.
Suatu malam, Ibu berpesan untuk kesekian ratus kalinya. "Jaga diri kalian baik-baik, Ibu ingin menghilang." Kemudian untuk pertama kalinya dilanjutkan, "Tertawalah jika ingin tertawa, menangislah jika harus menangis. Kalian tetap laki-laki!"
Kemudian Ibu masuk ke ruang favoritnya di rumah kami, berdiam seperti biasa. Aku dan Adik berangkulan melihat ia menutup pintu dari dalam.
Berhari-hari kemudian, tak kunjung kami lihat Ibu keluar. Ibu juga tak ditemukan di bagian mana pun rumah itu.
Kami dan Ayah terus mencarinya. Bahkan ketika aku dan Adik terus bertambah usia, dan Ayah terpaku pada ajal, Ibu menepati janjinya untuk menghilang.
Yang terakhir kuingat hanyalah bangku kecil dengan seutas tali di atasnya. Dan seekor tikus yang memandangiku dari lubang kecil di atas jendela.
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H