Lebaran kemarin, dari Kota Jambi menuju Kabupaten Tanjung Jabung Timur, banyak kendaraan yang kabarnya diminta balik arah. Sampai beberapa hari kemudian, keluarga kakakku tidak bisa keluar dari desa mereka, dan orang-orang dari daerah lain yang datang mesti lapor ke aparat desa dengan berbagai data yang dibutuhkan.
Alhamdulillah Jambi termasuk daerah dengan risiko Covid-19 rendah, jadi masih ada daerah yang boleh didatangi meski pandemi. Aku dan keluarga pun menuju Sungai Bahar, salah satu kecamatan di Kabupaten Muaro Jambi. Kunjungan ke Tanjabtim dibatalkan.
Pemeriksaan yang Mubazir
Di Kota, sekarang sering razia. Syukurnya bukan razia surat-surat kendaraan seperti dulu, melainkan razia masker. Orang yang berada di keramaian atau pengendara motor yang tak mengenakan masker, akan didenda sebesar 50.000 rupiah.
Keluar dari Kota, khususnya saat menuju Sungai Bahar, kami diminta berhenti di pos pemeriksaan. Polisi menyilakan kami untuk keluar, tapi tak wajib. Hanya sopir yang diwajibkan menuju tempat yang ditunjuk.
Tapi beberapa dari kami ikut keluar untuk melihat seperti apa pemeriksaan yang dimaksud. Begitu masuk ke mobil lagi, mereka semua tertawa.
"Program ecek-ecek, makan dana jugo tu!" kata abangku ngedumel.
Perjalanan dilanjutkan. Malamnya ketika kami pulang, pemeriksaan sudah tak ada lagi. Aku juga tak paham betul faedah dari pemeriksaan yang terkesan sangat ala kadarnya itu.
Pohon Kelapa Gundul dan Misteri Konyolnya
Dalam perjalanan Kota-Bahar, ada pemandangan yang menarik perhatianku, karena seketika itu juga menampilkan kembali nostalgia masa kecil yang begitu berkesan saking konyolnya.
Sungai Bahar memang gudangnya sawit. Kata abangku, itulah sebab tanah di sana gersang. Karena kabarnya pohon sawit kuat mengisap air.
Hamparan pohon kelapa sawit tua yang sudah tak berbuah dan berdaun berhasil kujepret karena mobil tak bisa ngebut melewati perkebunan/hutan (?). Jalannya tak memungkinkan.
Waktu kecil dulu, ada sebatang pohon kelapa "gundul" di dekat lapangan tempat aku dan kawan-kawan biasa bermain. Karena batangnya masih kuat dan tinggi, pohon itu dibiarkan tetap berdiri.
Tapi bagi beberapa orang, pohon tetap berdiri padahal tanpa buah dan daun adalah sesuatu yang sungguh ajaib. Pasti ada "penghuni"nya! Mereka samakan daun di pohon dengan kepala di tubuh mereka.
Di antara kawan-kawan bermain, ada satu anak yang hilang. Setahuku ia kabur karena tak tahan lagi tinggal bersama nenek dan om-tante yang kerap menyiksanya. Lain waktu insyaallah kuceritakan, karena aku sering melihat ia disiksa.
S, inisial kawan yang hilang itu. Berbulan-bulan dicari tak ditemukan, sampai banyak orang beranggapan S sudah meninggal dunia.
S wafat, pohon kelapa gundul masih gagah. Pas untuk sebuah rumor. Maka muncullah cerita yang berawal dari pengakuan seorang bocah, Y. Y bercerita pada sepupunya, M, bahwa ia kerap melihat S di puncak pohon gundul itu.
Karena Y adalah bocah kecil, diyakini ia memang bisa melihat makhluk gaib. Padahal waktu itu aku kecil juga, dan tak pernah sekalipun melihat apa-apa di pohon itu. Tapi M, sepupu Y yang lebih tua dariku, hanya mau menerima pengakuan keluargnya.
Setiap melewati pohon gundul, Y berteriak, "Itu S! Dio dadah ke kito."
Yang lain turut melambai ke puncak kelapa, seolah menyambut lambaian tangan almarhum S. Aku tidak melihat apa-apa, jadi tak ikut.
"Kagek keteguran kau!" ancam M dan beberapa anak yang lebih besar dariku.
Keteguran itu semacam keserempet makhluk halus. Aku bukan anak saleh, ngerti juga enggak. Tapi kakakku di rumah pasti marah kalau aku takut hantu. Dia anak madrasah.
Begitu terus bertahun-tahun. Pohon masih gagah, Y dan M setiap melewatinya senyum-senyum, kadang malah ngobrol dengan S di atas sana. Aku juga terpengaruh sih, ikut-ikut membayangkan S berdiri dalam keadaan telanjang di puncak pohon itu, sebagaimana yang digambarkan Y.
Lebih dari 5 tahun kemudian, kampung heboh! Setelah orang lupa padanya, dan kawan-kawan menggantikan kehadirannya dengan pohon kelapa gundul, S tiba-tiba datang!
Ternyata selama ini ia kabur ke Palembang, jadi kernet bus mahasiswa di sana. Setelah cukup uang, ia pulang untuk melihat kembali nenek dan keluarga lainnya.
Kami semua ikut senang, mendengarkan kisah hidup S selama dalam pelarian. Tapi Y dan M tak ikut berkumpul. Pohon berhala mereka juga sudah lama roboh.
Eh jangan-jangan karena itu S kemudian pulang? Jadi ia tak perlu lagi telanjang sambil senyum-senyum di puncak pohon.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H